Sabar:
Kunci Kecerdasan Emosional
Manusia mempunyai dua dimensi kepribadian. Pertama, yang disebut
dengan al-bu'dzil malakuti atau dirnensi kemalaikatan yang berasal dari alam
malakut. Ada satu bagian dalam diri kita yang membawa kita ke arah kesucian, yang
mendekatkan diri kita kepada Allah. Dimensi ini mendorong kita untuk berbuat
baik, membuat kita tersentuh oleh penderitaan orang lain, dan mengajak kita
untuk membantu mereka yang memerlukan bantuan. Dengan kata lain, dimensi ini
adalah sisi kebaikan yang ada dalam diri manusia. Dimensi kedua, adalah dimensi
kebinatangan atau al-budul bahimi. Dimensi inilah yang mendorong manusia untuk
berbuat buruk, membuat hati kita keras ketika melihat penderitaan orang lain,
dan menimbulkan rasa iri kepada orang lain yang lebih beruntung. Dimensi ini
juga menggerakkan kita untuk marah dan dendam kepada sesama manusia. Inilah
sisi buruk dalam diri manusia.
Jika dimensi kemalaikatan membawa manusia dekat kepada Allah,
dimensi kebinatangan membawa manusia dekat dengan setan. Setan sebenarnya tidak
mempunyai kemampuan untuk menyesatkan manusia, kecuali kalau manusia
membantunya dengan membuka sisi kebinatangannya. Karena itulah setan pernah
berjanji di hadapan Allah, Demi kekuasaan Engkau aku akan inenyesatkan rnereka
semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas. (QS. Shad 82-83). Sebenarnya yang
bisa disesatkan oleh setan adalah hamba-hamba Allah yang membuka sisi
kebinatangannya. AlGhazali menyebut sisi ini sebagai pintu gerbang setan atau
madakhilus syaithan. Bila orang sering membuka pintu gerbang kebinatangannya,
setan dapat masuk melakukan provokasi di dalamnya. Oleh karena itu, bagian
kebinatangan yang ada dalam diri manusia sering disebut dengan pasukan setan.
Melalui pasukan setan inilah setan dapat mengarahkan manusia untuk
berbuat buruk. Dua dimensi ini, malakuti dan bahimi, terus menerus bertempur
dalam satu peperangan abadi yang dalam Islam disebut dengan aljihadul akbar,
peperangan yang besar. Jihad yang agung itu adalah peperangan melawan bagian
dari diri manusia yang ingin membawa kita jauh dari Allah. Tugas kita adalah
memperkuat al-bu'clul malakuti itu, supaya kita memenangkan pertempuran agung.
Ada dua hal yang harus dilakukan manusia agar ia dapat memenangkan pertempuran
agung itu, yaitu shalat dan sabar. Minta tolonglah kamu (dalam jihad akbar ini)
dengan melakukan shalat dan sabar, sesungguhnya itu berat kecuali bagi
orang-orang yang khusyuk. (QS AI-Baqarah 45).
Ada sebuah buku yang harus kita baca untuk melatih kesabaran. Buku
yang ditulis oleh Daniel Goleman itu berjudul Emotional Intelligence (1).
Menurut Goleman, para psikolog telah melupakan satu bagian penting dalam jiwa
manusia yang bernama emosi. Psikolog jarang membicarakan emosi, padahal emosi
itu sangat menentukan kebahagiaan dan penderitaan manusia. Emosi juga
melindungi manusia terhadap bebagai bahaya. Emosi adalah hasil perkembangan
evolusi manusia yang paling lama, dan emosi terpusat pada salah satu bagian
otak manusia di bawah sistem yang sudah berkembang dalam evolusi semenjak
evolusi mamalia terjadi.
Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika dia mengambil
keputusan. Tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada
sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pernikiran rasionya.
karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional. Jika kita
memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata
keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada akal sehat. Emosi yang
begitu penting itu sudah lama ditinggalkan oleh para peneliti padahal kepada
emosi itulah bergantung suka, duka, sengsara, dan bahagianya manusia. Bukan
kepada rasio. Karena itulah Goleman mengusulkan selain memperhatikan kecerdasan
otak, kita juga harus memperhatkan kecerdasan emosi. la menyebutkan bahwa yang
menentukan sukses dalam kehidupan manusia bukanlah rasio tetapi emosi. Dari
hasil penelitiannya ia menemukan situasi yang disebut dengan when smart is
dumb, ketika orang cerdas jadi bodoh. la menemukan bahwa orang Amerika yang
memiliki kecerdasan atau IQ di atas 125 umumnya bekerja kepada orang yang
memiliki kecerdasan rata-rata 100. Artinya, orang yang cerdas umumnya menjadi
pegawai kepada orang yang lebih bodoh dari dia. Jarang sekali orang yang cerdas
secara intelektual sukses dalam kehidupan. Malahan orang-orang biasalah yang
sukses dalam kehidupan.
Lalu apa yang menentukan sukses dalam kehidupan ini? Bukan
kecerdasan intelektual tapi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional diukur
dari kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri. Dalam Islam, kemampuan
mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar. Orang yang paling sabar
adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. la biasanya
tabah dalam menghadapi kesulitan. Ketika belajar orang ini tekun. la berhasil
mengatasi berbagai gangguan dan tidak mempertur-utkan emosinya. la dapat
mengendalikan emosinya.
Di dalam buku itu, diceritakan betapa fatalnya orang yang tidak
memiliki kecerdasan emosional. Seperti dalam kisah nyata berikut ini: Pada satu
saat, ada seorang anak meminta izin kepada orang tuanya untuk menginap di
tempat kawannya. Sernentara anak itu pergi, orang tuanya pergi untuk menonton
opera. Tak lama dari itu, si anak kembali ke rumah karena tidak betah tinggal
di rumah temannya. Pada saat itu, orang tuanya masih menonton opera. Anak nakal
itu mempunyai rencana. la ingin membuat kejutan untuk orang tuanya ketika
pulang ke rumah pada waktu malam. la akan diam di teile dan jika orang tuanya
datang, ia akan meloncat dari toilet itu sambil berteriak. Beberapa saat
kemudian, orang tuanya pulang dari opera menjelang tengah malam. Mereka melihat
lampu toilet di rumahnya menyala. Mereka menyangka ada pencuri di rumahnya.
Mereka masuk ke rumah perlahan-lahan sambil membuka pintu untuk segera
mengambil pistol dan lalu mengendap naik ke atas loteng tempat toilet itu
berada. Ketika sampai di atas, tibatiba terdengar suara teriakan dari toilet
itu. Ditembaklah orang yang berteriak itu sampai lehernya putus. Dua jam
kemudian anak itu meninggal dunia.
Saya bisa bayangkan betapa menyesalnya kedua orang tua itu. Mereka
bertindak terlalu cepat. Mereka mengikuti emosi takut dan kekhawatirannya
sehingga panca indranya belum sempat menyampaikan informasi yang lengkap
tentang orang yang meloncat dan berteriak itu. Terjadi semacam Closed Circuit.
Mestinya mereka menganalisis dulu. Mereka lihat siapa orang itu. Itu
menunjukkan kurang terlatihnya kecerdasan emosional. Tidak terbiasa bersabar.
Mereka memperturutkan emosinya dalam bertindak. Orang ini dikategorikan sebagai
orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Sebenarnya teori Daniel
ini dapat disimpulkan dalam peribahasa Arab: man shabara zhafara, barang siapa
yang bersabar, ia akan sukses. Hal ini bisa dikaitkan bahwa orang yang sukses
dalam hidupnya adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi atau
orang-orang yang sabar. Keadaan ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
sukses dengan kecerdasan. Kecerdasan emosional bisa dibentuk dengan melatih
kesabaran dan tekun dalam menempuh perjalanan sabar. Seperti itulah seorang
sufi yang menempuh perjalanan menuju Allah. la tempuh berbagai bencana tetapi
ia tetap sabar. Itulah cara mengembangkan kecerdasan emosional.
Orang-orang yang cerdas secara emosional adalah orang yang sabar
dan tabah dalam menghadapi berbagai cobaan. la tabah dalam mengejar tujuannya.
Orang-orang yang bersabar menurut AI-Quran akan diberi pahala berlipat ganda di
dunia dan akhirat: Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk
(QS. AI-Baqarah 157). Ada beberapa pahala yang akan diperoleh bagi orang yang
bersabar yaitu shalawat (keberkatan yang sempurna), rahmat, dan hidayat.
Ada tiga jenis kesabaran; Pertama, sabar dalam menghadapi musibah.
Kedua, sabar dalam melakukan ibadah. Ketiga, sabardalam menahan diri untuk
tidak melakukan maksiat. Sabar dalam menghadapi musibah pahalanya lebih besar.
Bahkan menurut AlQuran, pahalanya diberikan tanpa perhitungan: Allah memberikan
pahala kepadanya tanpa perhitungan (Az-Zumar 10). Sabar dalam menjalankan
ibadah pahalanya lebih besar daripada sabar dalam menghadapi musibah. Dan sabar
dalam menahan diri akan melakukan maksiat pahalanya jauh lebih besar daripada
dua jenis sabar yang lainnya.
Ada sebuah riwayat tentang kesabaran yang diceritakan dalam kitab
Jihadun Nafs (2) karya Ayatullah Mazhahiri: Di masa Rasulullah, ada perempuan
yang memiliki anak kecil. Perempuan ini seorang muslimah. la tidak bisa membaca
dan menulis tapi ia mukmin yang sejati. Imannya memenuhi jantung dan hatinya.
Keimanannya dibuktikan dalam kesabaran ketika menghadapi ujian. Suatu hari
anaknya itu sakit sementara suaminya sedang berada di tempat jauh untuk
bekerja. Ketika suaminya bekerja, si anak kecil itu rneninggal dunia. Istri itu
duduk di samping anaknya dan menangis sejenak. la terjaga dari tangisannya. la
menyadari bahwa sebentar lagi, suaminya akan pulang. la bergumam, 'Kalau aku
menangis terus menerus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan
dikembalikan kepadanya dan aku akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia akan
pulang dalam keadaan lelah.' Kernudian ia meletakkan anaknya yang sudah
meninggal itu pada suatu tempat.
Tibalah suaminya dari tempat kerjanya yang j auh. Ketika suaminya
hendak masuk ke rumah, istri itu menyambutnya dengan senyum ramah. la
sembunyikan kesedihan dan ia sambut suaminya dengan mengajaknya makan. la basuh
kaki suaminya itu. Suaminya berkata, 'Mana anak kita yang sakit?' Istrinya
rnenjawab, 'Alhamdulillah ia sudah lebih baik.' Istri itu tidak berbohong
karena anak kecilnya sudah berada di surga yang keadaannya jauh lebih baik.
Istri itu terus berusaha menghibur suaminya yang baru datang. la ajak suaminya
untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh. Sang suami bangun, mandi,
dan shalat qabla subuh. Ketika ia akan berangkat ke mesjid untuk shalat
berjamaah, istrinya mendekat sambil berkata, 'Suamiku aku punya keperluan.'
'Sebutkanlah," kata suaminya. Sang istri menjawab, 'Kalau ada seseorang
yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada saatnya orang itu mengambil
amanat tersebut dari kita, bagaimana pendapatmu kalau amanat itu kita tahan dan
kita tidak mau memberikan kepadanya?' Suaminya menjawab, 'Pastilah aku menjadi
suami yang paling buruk akhlaknya dan khianat dalam beramal. Itu merupakan
perbuatan yang sangat tercela. Aku wajib mengembalikan amanat itu kepada
pemiliknya." Lalu istrinya berkata, 'Sudah tiga tahun, Allah menitipkan
amanat kepada kita. Hari kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat
itu dari kita. Anak kita sekarang sudah meninggal dunia. la ada di kamar
sebelah. Sekarang berangkatlah engkau dan lakukanlah shalat.' Suaminya pergi ke
kamar untuk menengok anaknya yang telah meninggal.
la Ialu pergi ke masjid untuk shalat berjamaah di masjid Nabi.
Pada waktu itu Nabi menjemputnya seraya berkata, 'Diberkatilah malam kamu yang
tadi itu.' Malam itu adalah malam ketika suami istri itu bersabar dalam
menghadapi musibah. Dari cerita itu kita dapat menangkap bagaimana sang istri
memperlakukan suami dengan sabar dan suami memperlakukan istri dengan sabar pula.
Dalam istilah modern, kedua suami istri itu memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi. Biasanya keluarga seperti ini bisa bertahan lama. Ada suatu riwayat
lain tentang kesabaran: Dahulu di zaman Harun Al-Rasyid, terdapat seorang
perdana menteri yang bernama Al-Asmai. Suatu hari, ia pergi berburu ke padang
pasir. Di satu tempat ia terpisah dengan kafilahnya. Ketika itu ia berada di
tengah-tengah sahara dalam keadaan kehausan dan kepanasan. Lalu ia melihat ada
sebuah kernah di tengah-tengah padang sahara. la berjalan mendekati kemah dan
ia melihat di kemah itu ada seorang perempuan muda yang sangat cantik.
Perempuan itu sendirian. Ketika perempuan itu melihat Al-Asma'i
mendekati kemah, ia mempersilahkannya untuk masuk ke kemahnya dan menyuruhnya
untuk duduk di tempat yang agak jauh darinya. Al-Asma'i berkata kepadanya,
'Tolong beri aku air minum.' Wajah perempuan itu berubah, ia berkata, 'Sungguh,
aku tidak bisa memberikan air kepadamu sebab suamiku tidak mengizinkanku untuk
memberikan air kepada orang lain. Tapi aku punya bagian makan pagiku yaitu
susu. Aku tidak makan dan kau boleh meminumnya.' Lalu Al-Asmai meminum susu itu
dan perempuan itu tidak berbicara kepadanya.
Tiba-tiba ia melihat perempuan itu berubah wajahnya. Darijauh ia
melihat ada titik hitam mendekati kemah. Perempuan itu berkata, 'Suamiku telah
datang.' Perempuan cantik itu mernbawa air dan pergi keluar dari kemahnya.
Ternyata suaminya yang datang itu adalah orang yang hitam, tua, dan berwajah
jelek. Perempuan itu membantu kakek tua dari untanya Ialu ia basuh dua tangan
dan kaki suaminya dan dibawanyalah masuk ke dalam kemah dengan penuh
penghormatan. Kakek tua itu sangat buruk akhlaknya. la tidak menegur sedikit
pun kepada Al-Asma'i. la mengabaikan tamu dan memperlakukan istrinya dengan kasar.
Al-Asma'i sangat benci kepadanya. la berdiri dari tempat duduknya dan pergi
keluar kemah. Perempuan itu mengantarkan AlAsma'i keluar. Saat itu, Al-Asma'i
bertanya kepadanya, 'Saya menyesalkan keadaanmu. Kamu, dengan segala kemudaan
dan kecantikanmu, sangat bergantung kepada orang seperti dia. Untuk apa kamu
bergantung kepada dia? Apakah karena hartanya? Sedangkan ia orang miskin. Atau
karena akhlaknya? Sedangkan akhlaknya begitu buruk. Atau kamu tertarik kepada
dia karena ketampanannya? Padahal ia seorang tua yang buruk rupa. Mengapa kamu
tertarik padanya?' Wajah perempuan itu pucat pasi. Lalu ia berkata dengan suara
yang sangat keras, 'Hai Asma'i! Akulah yang menyesalkan kamu. Aku tidak
menyangka seorang perdana menteri Harun Al-Rasyid berusaha menghapuskan
kecintaanku kepada suamiku dari hatiku dengan jalan menjelek-jelekkan suamiku.
Wahai Asma'i tidakkah kau tahu mengapa aku melakukan semua itu? Aku mendengar
Nabi yang mulia bersabda: Iman itu setengahnya adalah kesabaran dan setengahnya
lagi adalah syukur. Aku bersyukur kepada Allah karena la telah menganugerahkan
kepadaku kemudaan, kecantikan, dan akhlak yang baik. Aku ingin menyempurnakan
setengah imanku lagi dengan kesabaran dalam berkhidmat kepada suamiku.'
Jadi, perempuan di atas ingin menyempurnakan setengah keimanannya
dengan kesabaran setelah ia bersyukur akan kemudaan, kecantikan, dan kebaikan
akhlaknya. la bersabar dengan jalan mengabdikan seluruh hidupnya kepada
suaminya. Jika ada orang yang bersyukur tapi ia tidak bisa bersabar, imannya tidak
sempurna. Karena ia kehilangan setengah imannya yang lain. Hadis ini jangan
dipandang dalam perspektif kaum feminis. Tapi pandanglah sebagai kecintaan
seorang istri yang dengan sabar berkhidmat kepada suaminya.
Menurut Goleman, ketika kita menghadapi kesusahan, salah satu cara
untuk mengatasinya adalah dengan melihat kernbali persoalan itu dari sudut yang
lain. Maksudnya, cobalah kita pahami dan tafsirkan persoalan itu secara
seksama. Carilah perspektif lain dalam memandang berbagai masalah itu, Karena
itu akan membawa kita kepadg kondisi yang lebih kuat dalam menghadapi musibah.
Allah swt menyediakan tiga pahala bagi mereka yang bersabar: kesejahteraan di
dunia dan akhirat, rahmat dan kasih sayang Allah, dan petunjuk dalam menghadapi
berbagai kesulitan yang dihadapinya. (Iihat QS. AlBaqarah 155-157).
Bibliograpy
v
Al-Quran al-Kariem, depag RI
v
Goleman, Daniel, Ernotional Intelligence, Bantam Books, USA, 1996.
v
Al-Ustadz Mazhahiri, Jihad al-Nafs, Al- Mahijah AI-Baidha. Beirut,
1993, hal, 69-70.
v
Kumpulan Kuliah IAIN Jakarta .
Kesabaran
bukanlah sisi kelamahan, namun ia adalah kekuatan yang menjadikan manusia sadar
akan fitrahnya
Copyright-ferysyifa, 2000