Digital Opportunity
Jembatani Digital Divide
Sudah menjadi keyakinan umum bahwa telematika
merupakan prasarana pemberdaya, meningkatkan pengetahuan, meningkatkan efisiensi
kerja, selanjutnya meningkatkan ekonomi nasional. Saya menambahkan bukan hanya
sarana pemberdaya tetapi juga sarana pembudaya, dalam arti membina kerjasama
karena komunikasi adalah juga sarana kontak sosial, saling menghargai, untuk
kepentingan semua, membentuk masyarakat madani (civil society).Tokyo
Declaration (2000) menyebutnya: ICT contribute
to economic prosperity andquality of life.
Tetapi,
mirip dengan sektor pendidikan, apabila akses terhadap fasilitas komunikasi ini
timpang, (tidak merata, asimetrik) maka akan terjadi kesenjangan (gap
atau divide), mula-mula dalam hal kemampuan perorangan, kemudian antara
kelompok masyarakat dan kelompok usaha, yang melebar kepada kesenjangan
teknologi, sosial dan ekonomi antar masyarakat dalam satu negara dan antar
negara dalam lingkup internasional. (within and among nations).
Dalam
era digital ini, masyarakat telematika menyebutnya sebagai digital divide,
sedang G-8 Summit Tokyo (Mei 2000) menyebutkan upaya menjembatani divide itu
dengan menciptakan digital opportunity. APT (Asia Pacific
Telecommunity) me-release Tokyo Declaration (November 2000) dengan (33 butir)
Action Plan-nya, utamanya memimpikan internet dapat sebanyak-banyaknya mencapai
semua rakyat (di Asia Pasifik) pada tahun 2005.
Proses terjadinya divide yang pada awalnya adalah ketimpangan (asymmetry)
dalam sarana pemberdaya (dan pembudaya), kemudian mengakibatkan perbedaan
pertumbuhan sektor. Perbedaan pertumbuhan ini cenderung mengakibatkan tidak
meratanya alokasi sumber-sumber (pembangunan), seringkali termasuk pengaturan
dan perundangan, yang menguntungkan pihak atau sektor dengan pertumbuhan lebih
tinggi, dengan akibat kesenjangan lebih besar.
Dalam
hal teknologi sering dikatakan bahwa siapa yang tidak mengikuti perkembangan
akan ketinggalan kereta, dan tak ada jalan untuk mengejarnya (no way to
catch up). Dengan adanya kesenjangan atau divide dalam masyarakat ini
terjadi stratifikasi dalam masyarakat, dan kecenderungannya adalah bahwa
terjadi alinasi, dan eksploitasi oleh lapisan atas yang biasanya
diidentifikasikan sebagai elite, kaya, berkuasa, berwibawa dan sebaganya. Oleh
karena itu strategi pemerataan bukan hanya merupakan masalah (issue) sosial,
ekonomi atau politik saja, melainkan juga merupakan kewajiban moral.
Pengobatan (terapi) kesenjangan
adalah pemerataan. Ini konsekuensi logik. Pemerataan fasilitas telepon sering
disebut universal service, yaitu kemudahan akses akan fasilitas telematika bagi
semua warga, termasuk warga masyarakat pedesaan. Dalam sektor pendidikan
kebijakan ini dilaksanakan melalui kebijakan wajib belajar. Negara-negara
industri maju telah melaksanakan wajib belajar ini sejak lebih seratus tahun
yang lalu. Pranatanya sudah mapan, undang-undang dibuat, sumber-sumber
dialokasikan, dan diadakan pembinaan tingkat operasional.
Hasilnya
adalah bahwa kualitas SDM menjadi unggul, pendidikan ter-rendah warganya adalah
setingkat SMU ditambah ketrampilan kerja karena sebelum memasuki angkatan kerja
ada pula kewajiban pelatihan dalam bidang yang diminatinya. Pada Pendidikan Tinggi-pun
banyak sponsor baik dari pemerintahnya maupun swasta, sehingga kesempatan
menempuh pendidikan tinggi menjadi besar. SDM berkualitas (dan berbudaya) yang
dihasilkannya merupakan sumber utama kontribusi kepada kemajuan dan kemakmuran
negara mereka. Dengan bercermin kepada contoh kebijakan wajib belajar (di
negara maju) ini, maka kita usulkan bahwa untuk akses kepada fasilitas
telematika juga diberlakukan kebijakan semacam wajib belajar itu, yaitu
kewajiban memberikan akses jasa telematika kepada seluruh masyarakat.
Sampai dekade yang lalu, pemikiran jangkauan fasilitas telematika sampai
ke pedesaan selalu dihantui pertimbangan usaha yang merugi, karena
infrastruktur ke pedesaan lebih mahal, khususnya menarik jalur jaringan
teknologi terestrial, sedang lalu-lintas komunikasi selalu diperkirakan kecil
karena kepadatan penduduk rendah dan kebutuhannya akan komunikasi diperkirakan
rendah.
Tetapi perkembangan teknologi telah mampu mencapai semua tempat di dunia ( di
darat, di laut dan di udara) praktis dengan biaya infrastruktur yang sama,
tidak tergantung lokasi ataupun jarak. Ambil saja contoh ekstrim: sistem
satelit non-geostasioner, yang memungkinkan terminal seukuran telepon genggam
tetapi terhubung langsung dengan satelit dalam konstelasi orbit rendah, yang
mempunyai cakupan seluruh dunia, bahkan dengan penetrasi tinggi. Kapasitasnya
broadband, tidak hanmy untuk bertelepon, tetapi termasuk berbagai jenis
jasa lain, misalnya akses internet, transfer uang melalui bank dan banyak lagi.
Kemampuan teknologi telah memungkinkan wajib melayani pedesaan. Menurut
beberapa referensi kebutuhan akan fasilitas komunikasi bagi masyarakat desa,
termasuk jasa-jasa baru misalnya jasa internet, sama besar dengan masyarakat
kota. Kita dapat merancang sistem dan jaringan untuk pelayanan itu.
Tetapi
kita perlu waspada akan adanya dampak lain program pemerataan internet yang
dicanangkan Tokyo Declaration itu, yaitu ketergantungan akan teknologi impor,
sebagai akibat kesenjangan teknologi. Sejalan dengan pola pikir menjembatani
kesenjangan, kesenjangan teknologi ini juga diakibatkan oleh asimetri dalam
akses kepada teknologi. Dalam percaturan dunia, khususnya nyata dalam
perdagangan, maka akses terhadap teknologi itu dibatasi oleh dinding-dinding
yang dibuat secara sistematis, berupa HAKI (Hak Atas Karya Intelektual, atau
IPR, Intelectual Property Rights), Royalty, berbagai fee, termasuk pajak,
bahkan pelatihan di luar negeri yang semuanya mahal.
Oleh karena itu dapat dimenegrti bahwa sidang WTO mendapat kecaman atau
tentangan bahkan demonstrasi, khususnya dari pihak negara berkembang yang
merasa dirugikan. Dalam hal wajib melayani masyarakat ini, Tokyo Declaration
atau G-8 Summit tidak menyinggung masalah akses terhadap teknologi tersebut,
padahal unsur ini merupakan hal penting dalam program pemerataan jasa internet
diatas. Dikhawatirkan bahwa program pemerataan internet ini adalah sejenis
dengan program alih teknologi (transfer of technology) yang juga dicanangkan
para pemilik teknologi, tetapi yang sampai sekarang mendapat kecaman.
Disadari
bahwa membongkar tembok pembatas akses terhadap teknologi itu tidak mudah,
bahkan dapat dikatakan tidak mungkin pada waktu ini. Tatanan akses pada
teknologi yang sudah berakar kuat dan mendunia perlu dihadapi dengan upaya
jangka panjang. Saya hanya mengemukakan alangkah besar kesenjangan ini dengan
contoh sebagai berikut. Seorang pengarang terkenal menulis buku yang menjadi
rujukan banyak pihak. Pokoknya laris sekali. Atau contoh lain seorang software
developer yang produknya dipakai di seluruh dunia. Mungkin ia telah bekerja
selama setahun atau dua tahun untuk menulisnya, termasuk meniliti acuhan
buku-buku lain. Tetapi yang saya maksud adalah ia bekerja satu tahun, kemudian
ia akan menikmati royalty atau fee yang lain sehubungan dengan
HAKI-nya itu selama bertahun-tahun kemudian (mungkin 10 tahun atau lebih).
Kemudian ia menyiapkan buku atau produk kedua, ketiga dan seterusnya. Sambil
tidur beberapa tahunpun ia dapat menyumpuk kekayaan. Bandingkan dengan seorang
petani yang dipanggang matahari setiap hari sepanjang tahun, tetapi imbalannya
untuk makan bersama keluargapun tak cukup. Alangkah besar bedanya, karena
perbedaan kemampuan intelektual atau kemampuan teknologi.
Selanjutnya
program telematika juga terlibat dalam masalah hukum. Sudah sejak merancang
undang-undang baru No. 36/1999, telah diperjuangkan berdirinya Badan Regulasi
Mandiri, yang sesuai dengan tuntutan reformasi bidang telematika. Perlukah
program ini mengembangkan second thought dalam arti mengkompilasi studi
banding dengan sektor Pendidikan atau trend di negara-negara lain, baik di Asia
maupun Eropa? Diakui bahwa pendidikan dan komunikasi tidak dikelola secara
identik, karena lebih banyak unsur komersialisasi dalam sektor telematika.
Tetapi tentunya banyak kesamaan kebijakan pengelolaannya, termasuk bidang hukum
(legacy).
Disamping itu masih ada beberapa masalah penting yang perlu diperhatikan,
misalnya masalah profit motive dalam jasa telematika, atau subsidi dari
pemerintah. Tentang dua hal ini tidak saya bicarakan lebih lanjut atau
mengusulkan sesuatu.Kita menunggu pihak lain untuk mengulas dan membuat
usulannya.
Dengan bahasan tentang tema menjembatani digital divide melalui digital
opportunity diatas saya mengusulkan dua hal utama yaitu ;
q Mengembangkan kebijakan (policy) layanan jasa telematika,
termasuk jasa-jasa baru, dengan mengambil contoh kebijakan wajib belajar dalam
sektor pendidikan, dengan tujuan layanan telematika dapat merata kepada semua
penduduk.
q Mengupayakan penguasaan teknologi, khususnya bidang telematika,
termasuk pembinaan industri peralatan telekomunikasi beserta pembinaan
penelitian dan pengembangan produk peralatan telematika. Dalam hal ini
tersangkut pula masalah membuka pintu pada dinding-dinding pemisah yang
menghambat akses pada teknologi.
q Mengembangkan penulisan atau penciptaan “content” dalam arti bahan
pendidikan, pelatihan, pemeliharaan kesehatan, ilmu dagang, dan semua unsur
pembudaya ke arah masyarakat madani yang menurut istilah Kadin: bersih,
transparan, profesional. Tanpa content, maka infrastruktur telematika akan
menjadi “idle” (menganggur dan tidak berguna).
Dalam
rangka menunjang program penerataan jasa telematika ini Mastel telah
mengembangkan konsep BIM (Balai Informasi Masyarakat) untuk
pedesaan. Balai yang merupakan point of service bagi masyarakat sekitarnya ini
disesuaikan dengan kebutuhan akan komunikasi masyarakat tersebut, baik pada
awal implementasinya maupun pada tahap-tahap pengembangannya. Sudah diutarakan
terdahulu bahwa kebutuhan akan jasa informasi termasuk jasa-jasa baru seperti
internet pada masyarakat pedesaan tidak kalah besar dan urgensinya dibanding
masyarakat kota. Menurut kebutuhan, dan bekerjasama dengan sektor-sektor yang
berkepentingan jasa BIM dapat meliputi pendidikan jarak jauh, rumah sakit jarak
jauh, pusat informasi perdagangan produk pedesaan, dan lain sebagainya.Proyek
BIM ini mendapat simpati masyarakat telematika yang terdiri dari asosiasi usaha
dan perorangan, dan baru-baru ini tumbuh Gerakan Nasional Telematika yang ingin
mengembangkan dunia telematika.
Dalam
butir program penguasaan teknologi (bukan alih teknologi) sepengetahuan saya
belum ada gerakan seperti Gerakan Nasional Telematika itu, tetapi perlu
dikembangkan pembinaan penelitian dan pengembangan produk peralatan telematika.
Langkah yang kita usulkan adalah strategi klasik, yaitu meningkatkan rekayasa
produk, sehingga kandungan teknologi dapat meningkat secara bertahap. Memang
saya tidak menyebutkan untuk mengejar ketinggalan teknologi, tetapi setidaknya,
kita tidak perlu melewati jalan dan tahap yang sama seperti para pemilik
teknologi itu dahulu melakukannya. Kita dapat mencegat dan belajar dari
teknologi mutakhir. Rekayasa ini membangkitkan minat dan innovativeness para
pengembang, meskipun komponen utama masih berasal impor. Tidak ada pabrik yang
membuat sendiri semua komponen-komponen produknya, karena cara ini tidak
efisien. Mereka mempergunakan vendors yang memasok komponen tersebut.Terutama
dalam bidang perangkat lunak modalnya utamanya adalah brainware didukung oleh
peralatan relatif sederhana yaitu PC dan hasilnya program.
Disamping program desa ini ada pula program-program nasional yang perlu
mendapat perhatian, seperti misalnya melanjutkan program Nusantara 21, program
e-commerce, e-government dan semacamnya. Juga tentang program-program ini tidak
dibahas dalam sumbangan pikiran ini.
Ikhtisar.
Dalam rangka menjembatani digital divide melalui penciptaan digital
opportunity, saya mengusulkan pengembangan kebijakan nasional tentang
pemerataan akses terhadap jasa telematika (universal service) dengan cermin
(belajar dari) kebijakan wajib belajar untuk sektor pendidikan (yang telah
lebih 100 tahun dilaksanakan di negara-negara maju) dan diaplikasikan dalam
sektor telematika.
Dalam rangka menuju ke arah kemandirian teknologi, diusulkan program penguasaan
teknologi (bukan alih teknologi) melalui pembinaan kegiatan penelitian dan
pengembangan produk, dengan sasaran bertahap melalui kemampuan rekayasa produk,
meskipun komponen utama masih berasal impor.
Bersama dengan unsur-unsur lain mengembangkan content untuk keperluan
pendidikan (jarak jauh), pemeliharaan kesehatan, perdagangan, dan semua unsur
sumber daya pembangunan
Catatan:
Keterkaitan antara semua unsur dalam karya-karya pembangunan itu perlu didukung
oleh prasarana telematika. Telematika mampu menjembatani ruang dan waktu (tidak
tergantung lokasi dan waktu) dalam koordinasi kegiatan pembangunan semua
sektor. Telematika memfasilitasi koordinasi geografis, antara semua unsur
pembangunan, meskipun mereka terpencar di mana saja. Perkembangan teknologi
telematika memberikan kemudahan dalam koordinasi itu dengan perantaraan
berbagai jenis jasa, untuk melancarkan karya semua sektor pembangunan.
Wahai Tuhan ...!!!
Aku Rela bila Kau ambil kembali jiwa dan ragaku, tapi jangan dengan tulisanku
.....
Design & Created By Fery C. Syifa
Webmaster : http://ferysyifa.tripod.com
Email : ferysyifa@netscape.net
copyrightâ2001