Tersimpuh di Balik Hijab:
Menyisir Mitologi, Teologi dan Ideologi Jilbab
Untuk Adikku Sayang..!
Abstract
Hijab, as a code of women dress, has
emerged far before emergence of Islam. Nevertheless, when Islam come to be
spreaded, hijab was associated with supersitions, one of them is menstrual
taboo. However, hijab use in Islam is nothing to do with menstrual
taboo, but with state of spirituality of Muslim women. Nonetheless, in the
following times hijab has deviated to more polite than of pre-Islam
which related to supersitions. The discourse of hijab in this article
explored mythology, theology, as well as its ideology
Suatu
ketika di kota Baghdad beberapa ratus tahun yang lalu. Ada Seorang perempuan
berwajah cantik memasuki kota tersebut dengan hanya menutupi separuh wajahnya
menggunakan cadar serta membiarkan separuhnya lagi terbuka. Maka bertanyalah
seorang lelaki yang berpapasan dengannya “Mengapa engkau tidak menutup seluruh
wajahmu?” Dia menjawab, “Tunjukkan dulu kepadaku seorang laki-laki sejati agar
aku bisa menutup seluruh wajahku. Di seluruh Baghdad ini, hanya ada satu
laki-laki sejati, dan dia adalah Husayn ibnu Mansyur Al-Hallaj. Seandainya
bukan karena dia, aku bahkan tidak akan menutup separuh wajahku seperti ini.”
Perempuan tersebut adalah saudara Husayn Ibnu Mansyur Al-Hallaj, sang shufi
martir; konon dikatakan bahwa dia pun mengklaim kesetaraan dengan laki-laki
dalam perjuangan spiritual.
Jakarta
beberapa tahun yang lalu. “Saya gemar sekali mengenakan jilbab panjang”,
ujar Miranda Risang Ayu. “Satu hari saya bercermin, saya melihat lipatan jilbab
yang saya sentuh bergerak gemulai.” Baginya, hijab—selain berfungsi
untuk menutup aurat—juga dapat membebaskan apa yang harus dibebaskan di mana
dia dapat menemukan pengganti dari kegemulaian tubuh perempuan pada
lipatan-lipatan jilbab. Ide pemaduan antara estetika kain dan “gerak”
lain itu ditemukannya setelah ia sering mendatangi berbagai kelompok tashawwuf.
Maka berputar-putarlah para perempuan berhijab panjang yang menarikan
tarian kreasinya, tarian yang sekilas mirip dengan tarian para darwisy dari
thariqah Mawlawiyyah.
Begitulah,
penggunaan hijab umumnya didasarkan pada suatu konsep keagamaan serta
pemahaman personal akan konsep tersebut. Sudah sejak zaman Rasulullah Saw hijab
menjadi isu yang cukup sensitif bagi kaum muslimin, misalnya seperti yang
terjadi pada pertengahan bulan Syawwal tahun kedua Hijriah. Peristiwa yang
bermula dari ulah beberapa orang Yahudi ketika memaksa seorang muslimah untuk
membuka tutup wajahnya, namun ditolak perempuan tersebut. Namun, ketika muslimah
tersebut hendak pergi, tanpa disadarinya, salah seorang dari para laki-laki
Yahudi tersebut mengaitkan ujung jilbabnya hingga tersingkaplah pakaian
bagian punggungnya. Muslimah itu menjerit-jerit ketika menyadari kejadian itu,
sementara para lelaki Yahudi tersebut tertawa-tawa melihat kejadian itu. Pada
saat itu, seorang laki-laki muslim melihat kejadian itu dan langsung membunuh
laki-laki Yahudi yang melakukan perbuatan tersebut, tapi kemudian ia balik
dikeroyok dan dibunuh oleh orang-orang Yahudi yang ada di sekitarnya. Ketika
peristiwa ini sampai ke telinga Rasulullah Saw, beliau pun memerintahkan kaum
muslimin untuk bersiaga perang mengepung kaum Yahudi tersebut, namun atas
desakan Abdullah bin Ubay maka Rasulullah Saw pun, dengan marah, hanya mengusirnya
saja. Peristiwa itu kemudian tercatat dalam sejarah sebagai pengkhianatan
pertama kaum Yahudi (yaitu Bani Qainuqa’) terhadap umat muslimin.
Jilbab atau
kerudung, dalam berbagai bentuk dan nama, sebenarnya telah memiliki sejarah
yang lebih tua dari zaman Rasulullah. Dalam Taurat, misalnya, dikenal pula
istilah yang semakna dengan jilbab, yaitu tiferet; sedang dalam
Injil terdapat istilah redid, zammah, re’alah, zaif,
dan mitpahat.[i][1] Bukan
tidak mungkin bahwa istilah serupa apabila ditelusuri lebih jauh akan ditemukan
juga dalam agama-agama lain yang diturunkan ke muka bumi ini, seperti Hindu dan
Budha, karena pakaian, bagaimana pun, mewakili suatu tanda atau simbol
spiritual keagamaan. Namun, tetap harus diingat bahwa senantiasa tercipta jarak
atau keterpisahan antara tatanan nilai yang hakiki dengan pelaksanaannya dalam
kehidupan sehari-hari secara luas. Berkaitan dengan penggunaan jilbab
atau kerudung ini, Epstein, seorang antropolog, mengatakan,
Tradisi wanita menghijabi diri mereka ketika mereka
bepergian dalam masyarakat umum telah sangat lama (dilakukan) di negeri timur.
Barangkali rujukan pertamanya dapat ditemukan dalam kodeks bangsa Assyria, yang
mengatur supaya para istri, anak perempuan, janda, ketika bepergian ke luar
rumah, harus berhijab.[ii][2]
Dalam tulisan ini, secara global, sejarah hijab
akan dicoba untuk dikaji dengan pengkategorian secara arkeologis dari mitologi,
teologi hingga ideologi, di mana ketiga kategori arkeologis ini, pada akhirnya,
secara tidak langsung mewakili simtom dari suatu zaman yang berbeda-beda.
Seputar Permasalahan Jilbab dan
Pengertiannya
Kata hijab berasal dari kata hajaba
yang berarti menyembunyikan dari pandangan atau juga dinding pemisah, sedangkan
dalam konteks yang luas (hingga hari ini) hijab sering dikaitkan dengan
penutupan aurat secara bersahaja oleh perempuan Muslim yaitu berupa jilbab.
Persoalan jilbab memang tidak sederhana sebagaimana tidak sederhananya
pula makna dari istilah tersebut bagi setiap orang. Secara harfiah, jilbab
berarti pakaian yang luas atau lapang dan dapat menutup aurat perempuan,
kecuali muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangan saja yang ditampakkan.
Jilbab adalah bentuk mashdar dari akar kata jalaba yang
berarti “membawa” atau “menghimpun”, sedang bentuk jamaknya adalah jalâbîb
yang berarti baju kurung (auter garments atau juga mantle dan cloak)
yang dapat menutupi seluruh anggota badan—di dunia Arab lebih dikenal dengan jalabiyyah;
selain itu juga tajalbaba yang berarti “membajui”. Adapun Lisânul
‘Arab mendefinisikan jilbab sebagai “…kain bagian luar atau penutup
yang dililitkan pada bagian atas pakaiannya untuk menutupi dirinya dari kepala
hingga ujung kaki. Jilbab tersebut benar-benar menyembunyikan tubuhnya.”[iii][3]
Sedangkan dalam al-Qamus dikatakan jilbab merupakan pakaian yang
lebar, yang biasa dipakai untuk menutupi pakaian (dalam) mereka dan menutupi
seluruh tubuh (kecuali yang boleh ditampakkan).
Ibnu Hazm menuliskan bahwa “Dalam bahasa Arab…jilbab
merupakan kain bagian luar yang menutupi seluruh tubuh. Sepotong pakaian yang
terlalu kecil untuk menutupi seluruh tubuh tidak dapat disebut sebagai jilbab.”[iv][4]
Adapun, sebagaimana dicatat oleh Nasaruddin Umar, jenis-jenis pakaian perempuan
dalam vocabulary Arab pada masa Raulullah dikenal dengan beberapa
istilah, yaitu
Khimar, pakaian yang khusus menutupi bagian kepala, dir’, pakaian yang
khusus menutupi bagian badan, niqab dan burq pakaian yang khusus
menutupi daerah muka kecuali bagian bola mata, idzar, yaitu pakaian
berjahit yang menutupi anggota badan sampai ke bagian kaki, rida’,
pakaian luar yang menutupi bagian atas badan ke bagian bawah di atas idzar,
dan jilbab yaitu kerudung yang menutupi bagian luar kepala, termasuk
menutupi dir’ dan khimar.[v][5]
Beberapa peristilahan yang sering terkait dengan
perkara hijab ini, yang di antaranya muncul dalam QS An-Nuur [24]: 31,
adalah khimar, yang bentuk jamaknya adalah khumur, memiliki makna
tudung atau selendang untuk penutup kepala. Kata ini merupakan bentuk turunan
dari akar kata khamara yang berarti menutupi atau menyembunyikan, dan
terkait pula dengan kata khamr yang berarti anggur, atau secara harfiah
“sesuatu yang menutupi atau mendera pikiran atau kepala.” ‘Awra, istilah
bahasa Arab untuk pudendum seringkali diterjemahkan sebagai bagian
pribadi atau bagian yang dapat menimbulkan malu apabila terlihat, sesuatu yang
seharusnya ditutupi. Adapun merujuk kepada Lisanul ‘Arab istilah zina
adalah termasuk “segala sesuatu yang memperelok”; istilah ini kemudian dipahami
sebagai kecantikan alami maupun ornamen buatan yang berarti perhiasan,
dandanan, dekorasi, pakaian, dan cara berpakaian. Kata ini berasal dari akar
kata zana yang berarti berias, berdandan, berhias, menambahi ornamen,
berpakaian, dan membuat seseorang (perempuan) menjadi lebih cantik dan percaya
diri. Ilyas Islam mencoba merumuskan apa yang termasuk zina yaitu wajah,
tangan dan kaki serta apa pun yang tampak dari tubuh seorang perempuan karena
faktor yang tak terkendali seperti hembusan angin, atau yang di luar keperluan.[vi][6]
Kemudian istilah juyûb yang merupakan bentuk
jamak dari kata jayb, sebuah turunan dari kata jawb atau memotong
dan merujuk kepada belahan (dari pakaian) yang berarti bahwa tutup kepala harus
menutupi leher dan menggantung di atas dada. Adapun kata kerja tabahraja
menandai aktivitas menghiasi sesuatu, merapikan diri, menjadi tidak alami
(palsu), berpakaian untuk diperlihatkan. Ini, menurut Ilyas, tidak hanya untuk
membuat seseorang menjadi cantik, tapi juga untuk memamerkan dirinya, untuk
mengembangkan daya tarik seseorang dengan tujuan untuk memancing hasrat. Ini
tidak hanya merujuk kepada pakaian, tapi juga perilaku, seperti berjalan dengan
langkah yang menggoda juga bertingkah genit atau yang tidak keruan. Hal ini
terkait dengan kata bahraj yang berarti salah, lancung, palsu,
memalukan, tidak layak, murahan, sampah, sedangkan oknumnya disebut dengan mubahraj,
yaitu menyolok, mentereng tapi tidak berharga, terlalu glamour, banyak hiasan,
suka pamer, rosokan, dan murahan.
Dalam QS Al-Ahzab [33]: 33 terdapat istilah tabarruj
yang berarti “menampilkan kecantikan”, yang turunan kata lainnya adalah buruj
yang digunakan dalam beberapa ayat di Al-Qur`an (4: 77; 15: 16; 25: 61; 85: 1).
Buruj artinya “menara” karena visibilitasnya yang jelas, dan
“visibilitas” yang jelas dari perempuan pun dapat diakibatkan dari tipe pakaian
yang digunakannya, cara mereka berjalan, atau cara mereka bertingkah laku.
Dalam tafsir klasik tabarruj diartikan sebagai, pertama, mengigal
atau berjingkrak-jingkrak secara menggoda; berjalan dengan cara yang seksi;
mendandani diri sendiri secara lengkap; kedua, bercumbu-cumbuan,
berkelétah; dan, ketiga, berias, memperlihatkan dandanan, memamerkan
daya tarik tubuh. Tabarruj juga termasuk membuka tudung kepala,
mengikatkannya ke belakang yang berlawanan dengan diikat ke depan, yang mengekspos
leher, kalung, telinga dan anting-anting yang dikenakannya. Dalam pengertian
umum tabarruj berarti seorang perempuan yang memperagakan dirinya
sendiri di hadapan publik; termasuk gaya berjalannya yang tak tertutup dan
menggunakan kain yang menyingkapkan lekuk tubuh, ornamen, make-up, dan
sejenisnya.[vii][7]
Lebih jauh lagi, dalam kaitannya dengan sejarah
dunia Islam, Nasaruddin mencatat sejumlah penutup kepala yang dikenal dengan
istilah-istilah yang berbeda di tiap-tiap bangsa, seperti misalnya istilah
cadar yang lebih terkenal di Iran yang mana kata tersebut berasal dari bahasa
Persi chador yang berarti “tenda” (tent). Dalam tradisi Iran
cadar itu berarti “sepotong pakaian serba membungkus yang menutupi seorang
wanita dari kepala hingga ujung kaki.”[viii][8]
Sedangkan di India, Pakistan dan Bangladesh dikenal dengan istilah purdah
yang berasal dari bahasa Indo-Pakistan, pardeh, yang berarti “gorden” (curtain).
Istilah charshaf lebih dikenal di Turki untuk nama pakaian muslimah
tersebut, milayât di Libya, abâya, serta kudung atau kerudung
untuk daerah Indonesia, Thailand Selatan, Malaysia dan Brunei Darussalam.[ix][9]
Beryl Causari
Syamwil, yang termasuk generasi awal pemakai jilbab di Indonesia,
mengamati bahwasanya di Indonesia busana muslim bukanlah tradisi baru karena
sudah ada ketika pertama kali Islam datang, namun masih dalam proses untuk
menutup aurat. Dia menunjuk selendang tipis yang dikenakan perempuan Indonesia
untuk menutupi sebagian rambutnya sebagai bukti dari proses menuju penggunaan jilbab
dalam pemahaman seperti hari ini. Selain itu, Beryl juga menunjuk proses baju
bodo, busana adat Bugis yang pada awalnya hanya berupa selembar sutra halus
yang tembus pandang, namun kemudian menjadi tujuh lapis ketika pengaruh Islam
masuk. Pada tahun 50-an para perempuan Bali masih banyak yang bertelanjang
dada, namun hari ini mereka telah menggunakan bebat sebagai penutup
dadanya, dan, menurut Beryl lagi, di daerah-daerah Indonesia yang belum
berpakaian tertutup penuh bisa jadi dikarenakan proses evolusinya terhenti oleh
banyak faktor.[x][10] Dari sini dapat dilihat
bahwa pengertian masyarakat tentang batas aurat pun terus mengalami perubahan
dari aurat yang tadinya dibiarkan terbuka berubah menjadi tabu apabila
terlihat, yang kemudian kembali kedalam bentuk yang lebih halus seperti yang
sering terjadi pada saat-saat sekarang ini.
Menurut Ahmad
Mansyur Suryanegara pengaruh Islam tersebut akan lebih mudah dilihat pada
busana pengantin dari berbagai suku yang memiliki pengaruh Islam cukup kuat.
Pertama, keindahan busana pengantin laki-laki dan perempuan yang terdapat unsur
pengaruh lingkungannya, baik motif hiasan, bahan dan warnanya. Kedua, unsur
panjang di tiap daerah di Indonesia yang sangat bervariasi. Ketiga, tudung
kepala untuk laki-laki dan perempuan yang beranekaragam. Menurutnya, besar
kecilnya pengaruh Islam berakar pada sebuah komunitas di Indonesia saat awal
masuknya Islam terlihat dari sedikit banyaknya pakaian adat suatu daerah yang
menutupi bagian tubuh manusia. Sedang mengenai jilbab Mansyur mengatakan
bahwa itu adalah busana dengan ukuran yang mampu menutupi keburukan atau
kekurangan tubuh serta tidak mengekspos perhiasan fisik.[xi][11]
Pada
kenyataannya, (tradisi) kerudung yang telah berkembang di Indonesia khususnya
dan negara-negara Melayu pada umumnya, ternyata memiliki makna yang sepadan
dengan istilah khimaar pada zaman Rasulullah Saw. Namun, “proses”
menutup aurat tersebut sempat terhenti ketika Belanda dengan
peraturan-peraturannya mewajibkan setiap siswi untuk menggunakan rok ke
sekolah-sekolah hingga tak heran apabila cukup banyak orang yang terkejut
ketika isu jilbab dan baju kurung diangkat lagi ke permukaan. Mengenai
hal ini Kees van Dijk mencatat bahwa
Bangsa Belanda dan bangsa Eropa
lainnya yang tiba di Hindia Belanda berkonfrontasi dengan bangsa Indonesia
dalam hal gaya hidup Eropanya, termasuk dalam hal pakaian. Orang-orang
Indonesia, yang telah berziarah ke pusat keagamaan Islam, dan orang-orang
Muslim dari daerah pusat Islam lainnya, dari Saudi Arabia kini, Persia, Mesir
dan India, memperkenalkan, mendorong, dan memodifikasi gagasan dan simbol
religius berkaitan dengan cara bagaimana semestinya bagi seorang Muslim untuk
berperilaku di masyarakat, termasuk norma-norma dalam berpakaian. Belakangan
ini, lajunya telah meningkat secara drastis dan tingkat persentuhannya menjadi
semakin intens, namun konfrontasi antara tiga kompleks pemikiran utama,
perilaku, dan pakaian—Barat, Muslim, dan Indonesia—telah lama berlangsung,
semenjak kontak pertama antara dunia Barat dan Muslim.
Di Indonesia, kontak dengan
bagian-bagian dunia Islam lebih lama dari pada dengan daratan Eropa;
orang-orang Muslim telah meninggalkan bekas lama sebelum orang Belanda dan
Eropa hadir dalam situasi ini. Oleh karena itu, pilihan antara mengenakan
pakaian yang berdasarkan aturan Muslim atau budaya pribumi telah berlangsung
amat lama.[xii][12]
Mitologi Hijab
Ada sebuah asumsi menarik mengenai asal-usul
kerudung atau jilbab yang diungkapkan oleh Nasaruddin bahwa dalam
beberapa literatur Yahudi penggunaan kerudung berawal dari peristiwa dosa asal
(original sin) yaitu peristiwa ketika Hawa menggoda suaminya, Adam,
untuk memetik dan memakan buah khuldi, buah terlarang, yang mengakibatkan
mereka berdua menjadi berdosa dan terusir dari Surga. Akibat peristiwa itu,
dalam Kitab Talmud, maka Adam dan Hawa pun mendapatkan kutukan berupa 10
penderitaan.[xiii][13] Salah
satu bentuk kutukan terhadap perempuan adalah bahwa dia akan mengalami
menstruasi di mana sepanjang sejarah manusia menstruasi dianggap sebagai suatu
simbol baik secara teologis maupun mitos, dan dari sini pulalah para antropolog
mengaitkan asal-usul penggunaan jilbab, yaitu dari menstrual taboo.
Istilah menstruasi sendiri memiliki makna teologis[xiv][14],
yaitu
Kata menstruasi (mens) berasal dari bahasa Indo-Eropa. Akar
katanya adalah manas, mana, atau men, yang juga sering
menjadi Ma. Artinya, sesuatu yang berasal dari dunia gaib kemudian
menjadi “makanan” suci (divine “food”) yang diberkahi lalu
mengalir ke dalam tubuh dan memberikan kekuatan bukan hanya pada jiwa, tetapi
juga fisik. Mana juga berhubungan dengan kata Mens (Latin) yang
kemudian menjadi kata mind (pikiran) dan moon (bulan). Keduanya
mempunyai makna yang berkonotasi kekuatan spiritual. Dalam bahasa Yunani, Men
berarti Month (Bulan).[xv][15]
Menstruasi merupakan salah satu penderitaan kutukan
yang harus dijalani oleh Hawa dan segenap kaumnya, karena itu perempuan yang
sedang mengalami menstruasi dianggap sedang berada dalam suasana tabu dan darah
menstruasinya (menstrual blood) dianggap sebagai darah tabu yang
menuntut perlakuan khusus. Larangan melakukan hubungan seksual ketika seorang
perempuan sedang menstruasi terdapat di hampir semua agama, kepercayaan, dan
adat istiadat. Bahkan di kalangan Yahudi dan Kristen ada kepercayaan bahwa
beberapa jenis makanan tidak boleh disentuh pada saat seorang perempuan sedang
menstruasi karena dikhawatirkan akan mencemari, terutama itu adalah makanan
atau minuman yang mengandung alkohol.
Tatapan perempuan yang sedang menstruasi memiliki semacam kemampuan
tertentu untuk menimbulkan daya rusak Sang Mata Kejahatan. Sang Mata Kejahatan
dapat menyebabkan gagalnya panen, membusuknya makanan, dan sakitnya anak kecil.[xvi][16]
Kepercayaan akan menstrual taboo tersebut
mengakibatkan munculnya berbagai macam tanda dan isyarat yang harus digunakan
oleh perempuan pada anggota badan tertentu agar masyarakat dapat terhindar dari
pelanggaran terhadap menstrual taboo. Mengenai tabu tersebut Franz
Steiner juga Evelyn Red menjelaskan lebih jauh bahwa
Istilah tabu atau taboo pada darah haidl…berasal dari rumpun bahasa
Polynesia. Kata ta berarti tanda, simbol (mark) dan kata pu
atau bu adalah keterangan tambahan yang menggambarkan kehebatan (intensity),
lalu diartikan sebagai “tanda” yang sangat ampuh (marked thoroughly)…Taboo
juga sering diartikan dengan “tidak bersih” (unclean, impure), tetapi
juga diidentikkan dengan kata “suci” (holy) dan “pemali” (forbidden).
Tabu juga sering dikacaukan pengertiannya dengan sakral (sacred) dan
profan… Menstrual taboo sudah menjadi istilah yang umum digunakan dalam
buku-buku antropologi yang berbicara tentang persoalan menstruasi.[xvii][17]
Dari menstrual taboo tersebut lahirlah apa
yang disebut sebagai menstrual creation berupa kosmetik, sisir, selop,
sandal, sepatu, pondok haidl, kerudung dan cadar. Pada mulanya, kosmetik hanya
digunakan oleh perempuan yang sedang menstruasi, dan terlarang bagi anak-anak
yang belum menstruasi, orang yang sudah menopause, apalagi kaum laki-laki;
kosmetik ini berfungsi sebagai isyarat tanda bahaya (signal of warning)
agar tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo serta sebagai
penolak bala. Cara penggunaan kosmetik tersebut juga memiliki corak dan tata
cara masing-masing pada setiap daerahnya. Selain itu, di beberapa kelompok
masyarakat, perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh menginjakkan kakinya
ke tanah tanpa alas kaki (selop, sandal atau sepatu) untuk mencegah polusi dan
malapetaka. Bahkan di beberapa daerah alas kaki tersebut dibuat berat,
berukuran kecil dan runcing agar perempuan yang sedang menstruasi tidak bisa
berjalan jauh ke mana-mana. Kemudian, pondok haidl, suatu pondok yang dibangun
jauh dari perkampungan dan dikhususkan untuk perempuan yang sedang menstruasi
agar mereka tidak membaur dengan masyarakat, termasuk keluarga dekatnya
sendiri. Adapun cadar (hood) pertama kali digunakan untuk wanita yang
sedang menstruasi dan pengganti pondok haidl bagi perempuan dari kalangan raja
atau bangsawan. Cadar tersebut berfungsi untuk menutupi pancaran mata terhadap
cahaya matahari dan sinar bulan yang diyakini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan
malapetaka bagi alam dan manusia.
Penggunaan kata “hut” dalam bahasa Inggris yang berarti
“kerudung/cadar yang menutup bagian kepala sampai ke leher” dan kata hat
yang berarti topi mempunyai kedekatan makna dan boleh jadi berasal dari satu
akar kata dengan hut yang berarti “bangunan sementara” (temporary
wooden house) bagi wanita yang sedang menstruasi. Secara etimologis kata hut
maknanya berkonotasi negatif, karena bisa juga berarti bangunan yang jelek (the
house of rude construction). Sama dengan kata hood, selain berarti
kerudung/cadar, juga berarti “penjahat” dan “buaya darat”. Karena itu,
penggunaan dua kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks yang negatif
pula.[xviii][18]
Dalam agama Yahudi, kemudian, bahkan muncul
peraturan yang menyatakan bahwa
… Para wanita yang bepergian ke muka umum dengan tanpa berhijab
merupakan penyebab sah bagi tindakan penceraian, sebagaimana halnya dengan
kekafiran.[xix][19]
Mungkin karena itu pula maka Nur Veergin menunjuk
ajaran agama lain, khususnya Kristen, sebagai penyebar penggunaan chador
atau kerudung hitam panjang.
Saya harus mengatakan bahwa berbagai kategori ini dipengaruhi oleh
ajaran Kristen. Sebagai contoh adalah cadar. Dikatakan bahwa chador
hitam mengerikan yang kian banyak terlihat di jalanan Istambul merupakan
sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Islam, bagaimanapun itu sama sekali tidak
berhubungan dengan Islam Turki. Kebiasaan itu datang dari Byzant (ajaran
Kristen), ia datang dari Iran, tetapi ia jelas tidak diturunkan, tidak berasal
dari budaya nasional Turki atau pun budaya Islam di Turki.[xx][20]
Menurut Farzaneh Milani, perubahan dari pondok
haidl menjadi jilbab adalah buah dari perjuangan perempuan bangsawan,
namun tidak ada data yang pasti mengenai kapan peralihan itu terjadi. Sedangkan
menurut Navabakhsh, jilbab sudah menjadi bagian dari tradisi pra-Islam,
bahkan 500 tahun SM jilbab sudah menjadi pakaian kehormatan bagi
perempuan bangsawan di Kerajaan Persia. Lebih jauh lagi dia menyatakan bahwa
Semula Al-Qur`an sendiri tidak menetapkan kapan wanita harus dihijab
dari lingkungan laki-laki. Kata hijab—dalam arti pengucilan wanita—tidak
dikenal sebagai suatu fenomena sosial historis pada masa Rasulullah. Hijab
ketika itu lebih sering diasosiasikan dengan gaya wanita kelas atas di kalangan
masyarakat petani dan para pendatang, yang merupakan bagian dari tradisi
pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan
Sasania.[xxi][21]
Sedangkan Fatimah Mernissi menyatakan bahwa “jilbab
dalam arti hijab, sebagai kesan untuk memisahkan wanita dari masyarakat
tidak dikenal pada masa Rasulullah…[kecuali] …dua abad setelah Rasulullah Saw
wafat, terutama setelah Kitab Fikih disusun (abad kedua Hijriah) dan
setelah Islam meluas dan mengakomodir berbagai kultur dan mitos lokal, seperti bekas
wilayah kerajaan Persi dan Romawi yang bersikap tegas terhadap penggunaan jilbab.” [xxii][22] Hal
yang serupa dikemukakan oleh Akbar S. Ahmed, bahwasanya,
Meskipun hijab, chador atau bahkan purdah tidak
terdapat di masa awal Islam menurut pendapat beberapa cendekiawan, seiring
perjalanan waktu busana ini mulai dikaitkan dengan Islam. Kebiasaan ini
terasimilasi bersamaan dengan penaklukan masyarakat Persia dan Byzantium dan
dianggap mencerminkan semangat Al-Qur`an. Mungkin benar bahwa penutupan diri
dan pemakaian cadar mencerminkan wanita kelas atas, wanita urban yang berusaha
melindungi diri dari pandangan mereka yang berkeliaran di pasar ataupun
ladang-ladang pertanian. Tetapi selama beberapa abad, kebiasaan ini menyebar ke
bagian lain dalam masyarakat. Di kelompok-kelompok tertentu hal ini menyebar ke
bagian lain dalam masyarakat. Di kelompok-kelompok tertentu hal ini
mendatangkan konsekuensi yang tidak menguntungkan. Wanita di kota-kota kecil
dan besar sering terkurung di rumah-rumah kecil dengan kontak sosial yang
terbatas dan karena itu terhalang dari kehidupan masyarakat.[xxiii][23]
Pandangan bahwasanya jilbab itu berasal dari
menstrual taboo sebagaimana dikemukakan oleh para antropolog di atas
bisa jadi sebenarnya merupakan sebuah bentuk deviasi dari ajaran agama. Bahwa
memang sudah biasa terjadi bagaimana sebuah ajaran agama yang dibawa oleh para
Nabi atau Rasul pada awalnya memiliki makna serta kekuatan spiritual yang
tinggi, jernih dan murni, karena masih diajarkan oleh tangan pertama secara
langsung—tak ubahnya minum langsung dari mata air. Namun, setelah para Nabi
atau Rasul tersebut meninggal, dan tidak ada pengganti yang memang ditunjuk
untuk meneruskan dan menjaga ajaran tersebut, maka biasanya ajaran agama
tersebut akan mulai terdeviasi menjadi suatu ritual tanpa spiritualitas, dan
mulai muncul tambahan-tambahan di dalamnya. Kemudian, setelah beberapa lama,
biasanya ajaran tersebut akan terdeviasi lagi menjadi sesuatu yang sifatnya
emosional, agama dengan wajahnya yang kaku atau aturan-aturan yang sifatnya
menekan, tak bermakna, dan cenderung mengada-ada.
Oleh karena itu, bisa jadi jilbab yang
dianggap terlahir dari menstrual taboo tadi sebenarnya sebuah jejak yang
terbaca oleh para antropolog pada fase ketiga dari deviasi suatu ajaran agama.
Melihat bagaimana sebuah kerudung atau jilbab cukup sering muncul di
berbagai belahan bumi yang memiliki jejak dari ajaran agama-agama besar, bukan
tidak mungkin bahwa kerudung atau jilbab tersebut memang termasuk bagian
dari ajaran agama di masa-masa awalnya dengan penyesuaian terhadap budayanya.
Karakteristik alam dan budaya dari suatu bangsa tentunya akan sangat mewarnai
bentuk dari ajaran dan aturan agama yang ada di wilayah tersebut, terutama
dalam masalah perilaku orientasi seksualitas para lelakinya (terutama apabila
dikaitkan dengan penggunaan jilbab, atau lebih luas lagi, cara menutup
aurat bagi perempuan); sebagaimana Rasulullah Saw sendiri pernah bersabda bahwa
“Cadar yang sesungguhnya terletak di mata kaum lelaki.”
Dalam hal ini, budaya sebenarnya lebih merupakan
proses pemaknaan baik pada alam atau realitas eksternalnya, juga pada sistem
sosial yang memiliki nilai-nilai adiluhung baik pada identitas maupun kehidupan
sehari-hari. Namun, tetap harus ada suatu pembedaan yang tegas antara kebiasaan
sehari-hari berupa bentukan yang cenderung bersifat banal (habitus)[xxiv][24]
dengan budaya (culture) sebagai cerminan jiwa yang hakiki dari suatu
suku bangsa serta mengandung nilai-nilai adiluhung, simbolik dan eskatologis.
Budaya membedakan dirinya dengan alam untuk menetapkan identitas keberadaannya,
lalu melegitimasi diri dengan membandingkannya kembali pada alam dan menetapkan
dirinya sebagai “yang alamiah” lebih sebagai “yang kultural” itu sendiri. Alam,
dengan begitu, merupakan realitas mentah yang melingkupi suatu masyarakat.
Betapa pun tak tersentuhnya, “yang alamiah” adalah makna yang dibentuk oleh
suatu budaya bagi alam. Dengan kata lain, “yang alamiah” merupakan produk
budaya, sedangkan alam itu sendiri adalah pra-kultural.[xxv][25]
Hal ini nantinya akan terkait pula dengan orientasi
seksual dari para laki-laki di tiap-tiap daerah; perilaku dan ketertarikan
secara seksual terhadap perempuannya pun berbeda-beda, sehingga melahirkan tabu
yang berbeda-beda pula namun tetap berada di seputar daerah erogen perempuan.
Para perempuan di daerah gurun biasanya menggunakan bahan yang berlapis,
menutupi wajah dan berbentuk terusan (untuk menghindari dehidrasi dan hilangnya
panas tubuh) yang disesuaikan dengan kondisi alam, budaya, serta kebiasaan
masyarakatnya. Sedangkan di daerah-daerah tropis yang biasanya cukup hijau
dengan iklim yang sejuk, kebanyakan dari pakaian daerahnya sudah menutupi
sebagian besar tubuhnya, dari mulai leher, lengan hingga ujung kaki. Tidak
seperti para perempuan di gurun, para perempuan di daerah tropis biasanya hanya
menggunakan kerudung yang digulungkan di kepalanya, serta pakaian yang biasanya
terdiri dari dua potong kain untuk tubuh dan bagian kaki; yang juga disesuaikan
dengan kondisi alam, budaya dan kebiasaan masyarakatnya.
Selain itu, untuk mengatakan bahwa jilbab
terlahir dari mitos yaitu menstrual taboo sebenarnya kurang tepat,
ketimbang dipandang sebagai deviasi dari suatu ajaran agama. Mitos, sebagaimana
dikemukakan oleh Lévi-Strauss, sebenarnya merupakan suatu bentuk sapienza
poetica (kebijakan puitis) dari masyarakat tradisional di mana mereka
menyatakan cara pandangnya terhadap dunia lewat berbagai bentuk metafisik
metafora, simbol, dan mitos-mitos. Itulah yang membedakan antara cara berpikir
yang “ilmiah” dan yang “primitif.” Cara berpikir “ilmiah” bekerja dengan
memilah-milah alam ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan semakin
kecil; sebaliknya, berpikir “primitif” bersifat holistik, dan bertujuan untuk
menemukan jalan bagi pengertian akan seluruh alam.
Oleh karena itu, menstrual taboo bukanlah
suatu “mitos” melainkan lebih merupakan suatu bentuk deviasi dari ajaran agama.
Mitos, sebagai suatu cara berpikir, memiliki suatu makna yang lebih dalam
daripada yang tampak secara fenomena, sedang perlakuan terhadap menstrual
taboo tersebut lebih merupakan penafsiran harfiah yang kaku dan represif
dari suatu ajaran agama yang pasti memiliki dimensi esoterik yang dalam dan
agung. Namun dimensi esoterik ini seringkali sukar ditransmisikan sehingga
mudah terkubur dalam perjalanan waktu, terdeviasi oleh benak manusia yang
cenderung membatasi ide-ide yang universal, yang kehilangan mata air ajaran
agamanya (mitos pun sebenarnya dapat juga mengalami hal serupa). Namun, melihat
bagaimana ajaran mengenai penggunaan jilbab tersebut ternyata diakomodir
pula oleh kitab-kitab suci menandakan bahwa yang terjadi adalah deviasi bukan
mitos. Akan tetapi, dalam lintasan sejarah adalah sesuatu yang telah terpola di
mana deviasi akan dikoreksi serta dimurnikan kembali untuk kemudian terdeviasi
kembali, kemudian dikoreksi dan dimurnikan kembali, dan demikian seterusnya.
Teologi Hijab
Dalam Islam tak ada kaitan antara penggunaan jilbab
dengan menstrual taboo (bahkan istilah yang terakhir sama sekali tidak
dikenal), begitu pula perlakuan terhadap perempuan yang sedang menstruasi. Pada
masa Rasulullah Saw, perempuan dari kalangan Yahudi apabila sedang mengalami
menstruasi, maka masakannya tidak dimakan dan mereka tidak boleh bersama
keluarganya di rumah. Kemudian datanglah seorang sahabat menanyakan perihal itu
kepada Rasulullah Saw, dan beliau pun diam untuk beberapa saat, dan turunlah
ayat yang berbunyi,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah
kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri.” (QS Al-Baqarah [2]: 222)
Kaum Yahudi pun terkejut mendengar turunnya ayat
ini, terkejut melihat bagaimana hal yang selama ini mereka tabukan ternyata
dianggap sebagai suatu hal yang alami (adzan), dan mereka pun bereaksi
dengan mengatakan bahwa “apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Nabi Saw)
adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita.” Hal ini dilaporkan kepada
Rasulullah Saw oleh Usaid Ibnu Hudhair dan Ubbad Ibnu Basyr, dan wajah
Rasulullah Saw pun berubah karena tidak suka dengan reaksi kaum Yahudi
tersebut. Kontak sosial dengan perempuan yang sedang mengalami menstruasi ini
sering didemonstrasikan oleh Rasulullah Saw, misalnya, beliau pun minum dalam
satu bejana dengan ‘Aisyah yang sedang haidh; selain itu beliau Saw pun sering
menegaskan berulangkali dalam hadits-haditsnya seperti,
Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj). (Al-Hadits)
Segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (al-jimâ).
(Al-Hadits)
Adapun penggunaan hijab dalam ajaran agama
Islam sebenarnya bermula dari usulan ‘Umar bin Khaththab r.a. sebagaimana
tersebut dalam sebuah hadits,
‘Aisyah r.a. menceritakan, “Apabila para isteri Nabi hendak buang air
pada malam hari, mereka pergi ke tanah lapang. Umar (bin Khaththab r.a.)
mengusulkan kepada Nabi Saw supaya menyuruh para isteri beliau memakai hijab.
Tetapi Rasulullah Saw tidak berbuat apa-apa. Pada suatu malam Saudah binti
Zam’a, istri Rasulullah, keluar waktu Isya, dan dia adalah seorang wanita yang
tinggi perawakannya. Lalu Umar menyapanya, ‘Hai, kami mengenal engkau, hai
Saudah!’ Dia menyapa karena sangat mengharapkan supaya turun ayat hijab.
Memang sesudah itu turun ayat hijab.” (Al-Hadits)
Sesungguhnya, tidaklah mengherankan melihat
bagaimana ‘Umar bin Khaththab r.a. telah mengusulkan penggunaan hijab tersebut
karena Rasulullah Saw sendiri menyebutkan ihwal ‘Umar bin Khaththab dalam
haditsnya,
Sesungguhnya sebahagian dari umatku itu orang-orang yang disampaikan
berita (muhaddits), guru dan ahli-ahli ilmu kalam. Dan sesungguhnya Umar
itu sebahagian dari mereka. (Al-Hadits)
Hal ini dapat dilihat pula pada Asbabun Nuzul
dari beberapa ayat-ayat Al-Qur`an yang ternyata turun atas usulan atau juga
membenarkan usulan dari ‘Umar bin Khaththab. Namun, tetap harus disadari bahwa
turunnya ayat-ayat dalam Al-Qur`an bukan karena pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkan kepada Rasulullah Saw, tersusun dari peristiwa-peristiwa yang
kebetulan terjadi, atau bahkan atas usulan dari ‘Umar bin Khaththab.
Permasalahan tersebut terlalu besar dan tidak relevan untuk dibahas dalam
tulisan ini. Kembali ke permasalahan pakaian, pada kesempatan lain Rasulullah
Saw pernah bersabda ihwal pakaian sebagai simbol dari Ad-Diin—yang
lagi-lagi dilekatkan kepada ‘Umar bin Khaththab,
Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a., Katanya Rasulullah saw bersabda: “Aku
bermimpi dalam tidurku, seolah-olah aku melihat manusia dihadapkan kepadaku.
Baju (qamis) mereka di antaranya ada yang sampai ke susunya dan ada pula
yang kurang dari itu. Kulihat juga Umar bin Khaththab dihadapkan kepadaku,
sedangkan bajunya dihela-helanya karena sangat dalam.” Para sahabat bertanya:
“Apakah takwil mimpi Anda itu?” Jawab Nabi Saw: “Ad-Diin.” (Al-Hadits)[xxvi][26]
Bahwa Ad-Diin didirikan di atas iman dan amal shalih, yang mudahnya,
biasa juga diistilahkan dengan Taqwa, oleh karena itu qamis ‘Umar bin Khaththab r.a. melambangkan ketaqwaannya,
sebagaimana hadits lainnya menyebutkan
Iman itu tidak berpakaian.
Pakaiannya ialah taqwa, perhiasannya ialah malu dan buahnya ialah ilmu. (Al-Hadits)
Hadits ini juga menjadi
penjelas dari ayat Al-Qur`an yang berbunyi,
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian
untuk menutup auratmu, dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa (libasut taqwa) itulah yang paling baik.
Yang demikian itu adalah sebagian dari ayat-ayat Allah, mudah-mudahan mereka
selalu ingat. “ (QS Al-A’raaf [7]: 26)
Adapun untuk perkara iman
sendiri, yang akan menjadi fondasi terdasar dalam permasalahan jilbab nantinya, dibahas secara
kompehensif oleh Imam Al-Ghazali r.a.[xxvii][27]
Bahwa iman itu berwujud cahaya, tempatnya dalam qalb, dan fungsinya untuk menerima petunjuk yang akan membimbing
manusia menuju Shirathaal Mustaqiim
(jalan orang-orang yang dianugrahi ni’mat)
dan mengerjakan amal shalih. Ada perbedaan kualitas dan entitas yang sangat
signifikan antara mu’min dan al-mu’min baik dalam Al-Qur`an maupun
Al-Hadits, seperti dalam bahasa Inggris yang membedakan antara book (yang bisa merujuk ke buku secara
umum) dan the book (yang merujuk pada
suatu buku tertentu saja). Apabila seseorang telah mendapatkan cahaya iman maka
dia disebut sebagai mu’min (atau mu’minaat), sedang apabila orang
tersebut bertaqwa (bentukan dari iman dan amal shalih; dan orangnya disebut
sebagai muttaqiin, sedang jenjang
tertingginya adalah al-muttaqiin)
maka dia disebut sebagai al-mu’min
(atau al-mu’minaat), dan
seminimal-minimalnya jenjang al-mu’min
adalah shalihiin.[xxviii][28]
Selain itu, al-mu’min merupakan
orang-orang yang telah dianugrahi rahmat—minimal rahmat pertama[xxix][29]—sehingga
digelari pula sebagai al-muthahharuun
(QS Al-Waaqi’ah [56]: 79), dan mengenai itu Rasulullah Saw dalam salah satu
haditsnya bersabda,
“Jika Allah telah memberimu rahmat, maka rahmat itu harus ditunjukkan di
dalam hidupmu.” Mereka bertanya kepada beliau Saw, “Bagaimana rahmat Allah itu
harus ditunjukkan?” Beliau menjawab, “Dengan berpakaian yang bersih, berbau
harum, memperputih rumah, menyapu halaman rumah, dan menyalakan lampu sebelum
terbenam matahari sehingga akan menambah keindahannya.”[xxx][30] (Al-Hadits)
Rangkaian ayat Al-Qur`an dan
Al-Hadits di atas berfungsi untuk menjelaskan aspek-aspek mendasar pembentuk
landasan dari syari’at Islam mengenai hijab
serta subyek yang ditujunya, sehingga ayat mengenai hijab tersebut dapat lebih terpahami konteksnya.
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri al-mu’miniin: “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab [33]: 59)
Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa hijab) dengan bapak-bapak mereka,
anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari
saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan dan
hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi)
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (QS Al-Ahzab [33]: 55)
Katakanlah kepada al-mu’minaat:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan dalam kaumnya,
atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai al-mu’miniin supaya kamu
beruntung. (QS An-Nuur [24]: 31)
Al-mu’minaat
adalah suatu suri tauladan yang seharusnya ditiru oleh para mu’minaat, keberserahdiriannya,
ketaqwaannya, tingkah lakunya, bahkan hingga cara berpakaiannya. Oleh karena
itu maka Rasulullah Saw pun dalam hadits-haditsnya menganjurkan
Barangsiapa meniru-niru tingkah
laku suatu kaum maka dia tergolong dari mereka. (Al-Hadits)
Manusia itu menurut agama temannya. Maka hendaklah diperhatikan oleh
seseorang kamu akan orang yang akan diambil menjadi teman. (Al-Hadits)
Teman duduk yang shalih adalah seumpama orang yang mempunyai kesturi.
Jikalau ia tidak memberikan kepadamu dari kesturinya, niscaya engkau akan
memperoleh bau harumnya. (Al-Hadits)
Itulah sebabnya Rasulullah Saw
pada saat itu melarang pakaian yang melewati mata kaki, karena itu mencerminkan
kesombongan keagamaan, sehingga seolah-olah sang pemakai adalah orang yang
agamanya sebagus Umar, sementara Umar r.a. secara jasadiah hanya mengenakan
pakaian penuh tambalan. Seperti itu juga hikmah dari larangan Rasulullah Saw
tentang pemakaian sutra dan emas, karena pakaian itu adalah pakaian laki-laki
penghuni surga. Karena itu permasalahan keislaman seseorang, tidak hanya
dilekatkan pada penggunaan jilbab
secara fisik semata, tapi justru utamanya dalam peniruan akhlaq dan tingkah laku seorang al-mu’minaat
hingga suatu hari bisa Allah Swt masukkan ke dalam golongan al-mu’min tersebut.
Sebagaimana dicatat oleh
Nasaruddin bahwa feminis seperti Fatimah Mernissi dan Riffat Hasan dapat saja
“menggugat” keberadaan jilbab dan hijab dengan berbagai alasan kritis,
namun dampak-dampak positif dari penggunaan jilbab
tidak dapat mereka nafikan, seperti yang dikemukakan oleh Lama Abu Odeh bahwa
Bagi seorang feminis, keragaman seksualitas berhijab dapat menjadi
sangat menarik dan menjanjikan interaksi dan dialog yang kaya dengan para
wanita yang berhijab. Posisinya secara bersesuaian akan menjadi lebih bernuansa
dan beragam. Dari pada mengabaikan mereka sebagai musuh, ancaman, kesadaran
yang salah, ia dapat memandang mereka sebagai komunitas wanita yang beragam,
bercabang, nampak bersatu, yang berusaha untuk tetap bertahan dalam sebuah
lingkungan yang tidak bersahabat bagi mereka sebagaimana pula baginya. Adalah
sebuah keragaman yang mengundang percakapan antara ‘yang sama’, dari pada
keterpisahan dari ‘yang lain’.[xxxi][31]
Adapun syarat-syarat yang
harus dipenuhi dalam penggunaan jilbab
telah banyak dibahas dalam literatur-literatur yang membahasnya secara panjang
lebar, namun, tetap dengan satu nafas yang sama bahwa jilbab tidak boleh menampilkan lekuk-lekuk tubuh perempuan,
transparan, atau segala hal yang bisa mengundang syahwat bagi laki-laki yang
melihatnya. Akan tetapi, ada hal-hal lain juga yang mesti dilihat secara
hati-hati, misalnya perbedaan antara rapi dan bermegah-megah. Selain itu juga,
predikat “berlebihan” tidak bisa serta merta ditempelkan terhadap segala bentuk
yang dipandang (secara subyektif) mewah dan berkemilauan karena ada masalah
kezuhudan (yaitu, tidak mengisi qalb
dengan kecintaan terhadap dunia) yang seringkali tersembunyi, seperti Nabi
Sulaiman yang memang kaya raya namun tidak mencintai kekayaan tersebut. Namun,
secara umum Rasulullah Saw memberikan beberapa larangan mengenai cara
berpakaian, di antaranya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits
berikut,
Rasulullah mengutuk laki-laki
yang berpakaian seperti wanita dan wanita berpakaian seperti laki-laki. (Al-Hadits)
Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak akan melihat
kepada orang yang berpakaian terlalu dalam sampai terseret di tanah, karena
kesombongannya.” (Al-Hadits)
Tiga orang tidak ditanyakan tentang mereka: laki-laki yang bercerai dari
jama’ah orang banyak, laki-laki yang mendurhakai imamnya, lalu meninggal dalam
berbuat maksiat. Maka kedua orang itu tadi tidak ditanyakan halnya. Dan wanita
yang suaminya tiada bersama dengan dia dan telah dicukupkannya untuk wanita itu
perbelanjaan dunia. Lalu wanita itu berhias di luar batas dibelakangnya. Maka
tidak ditanyakan dari halnya. Dan tiga orang tiada ditanyakan halnya, yaitu
laki-laki yang bertengkar dengan Allah tentang selendang-Nya. Dan selendang
Allah itu ialah keagungan (al-kibria’).
Sarung-Nya ialah, kemuliaan. Laki-laki yang dalam keraguan tentang Allah. Dan
laki-laki yang putus asa daripada rahmat Allah. (Al-Hadits)
Ada catatan menarik yang
dibuat oleh Nasaruddin mengenai makna dari warna serta motif jilbab yang digunakan oleh perempuan
kaum Badui (Bedouin women) di kawasan
Timur Tengah, selain juga penggunaannya yang dilakukan pada momen-momen
tertentu.
Perempuan yang sudah kawin menggunakan jilbab warna hitam dengan bahan ikat pinggang warna merah. Warna
hitam pertanda simbol kelemahan manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
dosa, sedangkan warna merah adalah simbol penciptaan hidup (creation of life) yang diasosiasikan
kepada darah menstruasi. Darah adalah simbol kehidupan (fertility symbol). Ketika terjadi pembuahan maka darah menstruasi
akan terhenti dan terwujudlah sebuah janin, jadi motif warna merah mempunyai
teologi tersendiri. Kalau sedang bepergian jauh mereka menggunakan jilbab hitam, dan pada acara-acara
resmi, seperti pesta perkawinan, mereka menggunakan selendang hitam (black shawl/milaya).[xxxii][32]
Sedangkan mengenai cara
berpakaian, bentuk dan warnanya, sangat Rasulullah Saw tekankan aspek
kesederhanaannyan di mana dalam ajarannya Islam senatiasa mengajarkan suatu
jalan pertengahan, suatu keseimbangan. Selain wujud penampakan luar yang memang
harus diperhatikan, aspek dalam atau nafs
manusia jauh lebih utama untuk diperhatikan, dipelihara, disucikan, serta
“diberi pakaian” (baca: taqwa) dan karenanya pakaian, khususnya hijab, sebenarnya lebih
merepresentasikan permasalahan akhlak dan kesucian nafs dari sang pemakai yang menuntut kesimetrian pada aspek luar
atau jasadiah dan tingkah laku. Hal ini bisa dilihat dari rangkaian
hadits-hadits berikut ini,
Kebajikan semuanya dijadikan pada
orang yang sedang (pertengahan). (Al-Hadits)
Pekerjaan yang terbaik ialah yang ditengah-tengah (sedang). (Al-Hadits)
Pakaian untukmu yang terbaik ialah yang berwarna putih, maka pakailah
dan juga untuk mengkafani mayat-mayatmu. (Al-Hadits)
Sesungguhnya aku adalah hamba, aku memakai pakaian, sebagaimana yang
dipakai oleh hamba. (Al-Hadits)
Bahwa Allah itu indah, yang mencintai keindahan. (Al-Hadits)
Bahwa Allah Ta’ala tiada memandang kepada rupamu dan hartamu.
Sesungguhnya Ia memandang kepada qalb-mu
dan amalmu. (Al-Hadits)
Wahai Tuhanku! Jadikanlah batiniyahku itu lebih baik dari zahiriyahku.
Dan jadikanlah zahiriyahku itu yang baik!. (Al-Hadits)
Adapun dalam khazanah agama
yang turun sebelum Islam ada juga anjuran untuk menggunakan penutup kepala bagi
perempuan, misalnya seperti yang tertulis dalam Kitab Injil 1 Korintus 11: 2-16
sebagai berikut,
Aku harus memuji kamu, sebab
dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada
ajaran yang kuteruskan kepadamu. Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal
ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan
ialah laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah. Tiap-tiap laki-laki yang
berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung menghina kepalanya. Tetapi
tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak
bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur
rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia
juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa
rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab
laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan
kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab
laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari
laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan
diciptakan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di
kepalanya oleh karena para malaikat. Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada
perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama
seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan
oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.
Pertimbangkanlah sendiri:
Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?
Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu, bahwa adalah kehinaan bagi laki-laki
jika ia berambut panjang, tetapi bahwa adalah kehormatan bagi perempuan, jika
ia berambut panjang? Sebab rambut diberikan kepada perempuan untuk menjadi
penudung.
Tetapi jika ada orang yang mau
membantah, kami maupun Jemaat-jemaat Allah tidak mempunyai kebiasaan yang
demikian.
Pada bagian awal telah
diperlihatkan bagaimana jilbab dalam
penggunaannya di masyarakat pra-Islam ternyata banyak diselubungi oleh mitos
mengenai menstrual taboo, “mitos”
yang sebenarnya lebih dekat kepada fenomena deviasi ajaran agama yang kemudian
sangat merendahkan dan menindas perempuan. Adapun dalam Islam, penggunaan jilbab sama sekali tidak berhubungan
dengan mitos menstrual taboo
tersebut; jilbab dalam Islam
merupakan representasi dari nafs
al-mu’minaat yang telah dibersihkan (al-muhtthaharun),
cahaya iman yang telah “diberi pakaian” taqwa, dan karenanya jilbab juga merupakan representasi dari
akhlaq yang mulia, keihsanan. Namun, dalam perkembangan zaman berikutnya, era
di mana unsur-unsur peradaban pun semakin kompleks dan sistem kemasyarakatan
pun mengarah kepada globalisasi, maka makna jilbab
pun berkembang, bahkan hingga ke arah yang tak terduga, di mana—meminjam
kata-kata Yi-Fu Tuan—
Kita
tidak dapat tetap bermoral dalam segenap makna kata tersebut, maupun (kita tak
dapat) menjaga proyek dan kreasi-kreasi kita—termasuk perkakas, perumahan,
perkotaan, dan pertamanan—kesungguhan moral dalam bentuk apapun, tanpa di suatu
tempat dibelakangnya terdapat sebuah dukungan dari suatu model realitas
religius yang dirasakan amat mendalam.[xxxiii][33]
Fenomena yang menarik dari
maraknya penggunaan jilbab di
Indonesia adalah bahwa gerakan tersebut justru dipelopori oleh mahasiswi di
lingkungan perguruan tinggi non IAIN dan sekolah-sekolah menegah non pesantren
sejak tahun 1980-an, sebagaimana dicatat oleh Kees van Dijk bahwa,
Popularitas jilbab yang berkembang pesat sekali lagi telah mengangkat
diskusi tentang apa yang merupakan tradisi Arab dan apa yang merupakan ajaran
agama. Mereka yang membedakan kedua hal tersebut menemukan bahwa cadar jarang
dikenakan oleh para mahasiswi di institusi-institusi perguruan tinggi Islam,
namun mahasiswi di universitas sekuler kadang memilih untuk mengenakannya.
Diperkirakan bahwasanya perwujudan Islam yang lebih ekstrim menemukan
dukungannya pada mereka yang belum mendalami nilai-nilai Islam semenjak
kanak-kanak namun oleh mereka yang menemukan pentingnya Islam kemudian dalam
kehidupan mereka.[xxxiv][34]
Gejala ini sebenarnya memiliki
kaitan erat dengan Revolusi Iran 1979 yang menetapkan seluruh
perempuannya—termasuk turis asing yang sedang berkunjung ke negeri itu—untuk
memakai jilbab apabila akan bepergian
keluar rumah. Bahkan pada saat itu, majalah-majalah berbahasa Inggris—seperti Yaumul Quds, Makjubah, dan lain sebagainya—menampilkan potret-potret perempuan
anggun, terpelajar, pejuang dan tokoh masyarakat dengan jilbabnya yang beraneka corak dan warna.[xxxv][35]
Akbar S. Ahmed melihat bahwa proses kembalinya umat Islam kepada identitas
primordial merupakan suatu cara memperoleh kembali martabatnya yang hilang.
Seorang wanita mengenakan hijab
atau seorang pria memelihara jenggot, keduanya berupaya mendapatkan kembali
harga diri mereka. Mereka membuat pesan: dengan menonjolkan diri dan identitas
mereka sendiri, mereka bermaksud menangkap kembali sedikit martabat yang secara
mendalam diperlukan oleh semua manusia.[xxxvi][36]
Di Turki tahun 1839, misalnya,
ketika rezim Nasionalis-Sekuler pimpinan Kemal Ataturk berkuasa diterapkanlah
institusi Tanzimat (reorganization) di mana simbol-simbol
dan identitas lokal kembali diperkuat, jilbab
dianggap sebagai identitas asing yang harus dilepaskan, bahkan thariqah Mawlawiyyah pun dilarang
melakukan ritual tarian berputarnya. Namun ketika rezim konservatif berkuasa,
maka isu pertama yang diangkat adalah reislamisasi kaum perempuannya. Sedangkan
di Indonesia jilbab muncul dalam
bentuk simbol yang memiliki banyak makna serta didasarkan pada pemahaman
perempuan yang menggunakannya, bahkan Suzanne April Brenner berpendapat bahwa jilbab di Indonesia merupakan suatu
peristiwa yang “seratus persen modern” di mana perempuan berjilbab adalah sebagai
suatu tanda globalisasi, suatu
lambang identifikasi orang Islam di Indonesia dengan umat Islam di
negara-negara lain di dunia modern ini…(serta) …menolak tradisi lokal, paling
tidak dalam hal berpakaian; dan sekaligus si pemakai juga menolak hegemoni
Barat, dan hal-hal lain yang terkait dengannya di Indonesia.[xxxvii][37]
Namun, pada awalnya, jilbab di Indonesia hanya dianggap
sebagai simbol busana kaum pinggiran, selain itu pemakaiannya pun sangat
dibatasi oleh ruang dan waktu, misalnya pada saat melayat, shalat tarawih
berjama’ah di masjid, atau pada hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha;
sedang perempuan yang mengenakan jilbab
kemanapun ia pergi biasanya adalah seorang perempuan yang sudah berhaji (hajjah). Tentu saja, hari ini hal
tersebut telah mengalami perubahan yang cukup drastis, sebagaimana dicatat oleh
Akbar
Hijab pada tahun 1980-an dan
1990-an telah menjadi mode dan menjadi simbol identitas Muslim yang diakui di
kalangan gadis-gadis muda. Mesti ditegaskan bahwa rasa takut dan tekanan dari
rumah harus dihadapi para gadis yang mengenakan busana itu. Banyak gadis yang
tetap mengenakannya meski mendapat tentangan di rumah. Hal itu merupakan cara
yang sopan untuk mengatakan: di sinilah saya berdiri dan saya bangga karenanya.[xxxviii][38]
“Jilbab bagiku adalah sebuah pembebasan. Karena dengan jilbab ini aku bisa beraktivitas di
masyarakat secara leluasa tanpa harus dipandang rendah oleh orang lain,” ujar
seorang sahabat, aktivis yang mengaku feminis. Feminisme biasanya memprotes
ihwal terlalu dominannya kepentingan laki-laki dalam melahirkan teologi,
misalnya, benturan dengan penggunaan jilbab
yang diasumsikan sebagai penjara bagi kaum perempuan, namun hal itu dibantah
oleh sahabat tadi ketika ditanya pendapatnya mengenai kontradiksi tersebut.
Begitulah jilbab hari ini,
pemaknaannya yang begitu beragam tampaknya lebih mendekati ke arah ideologis.
Penelitian lapangan yang dilakukan oleh Karen W. Washburn, misalnya,
memperlihatkan banyak sisi-sisi yang menarik mengenai landasan pemahaman
personal akan penggunaan jilbab pada
tiga orang perempuan yang bisa dianggap mewakili tiga dari sekian banyak bentuk
“ideologi” jilbab.[xxxix][39]
Dari tiga studi kasus yang
dikemukakan oleh Washburn, kasus Noor adalah kasus yang paling menarik di mana
Noor kadang-kadang memakai jilbab dan
kadang-kadang tidak, bergantung pada perasaannya serta keadaan. Bagi Noor jilbab hanyalah suatu cara berpakaian,
bukan sebagai suatu simbol agama yang dikaitkan dengan suatu state spiritualitas tertentu (seperti
yang telah diuraikan sebelumnya di atas). Selain itu Noor pun menyatakan
dirinya sebagai seorang feminis. Pengalaman lainnya yang dia alami adalah
pernah dikira sebagai WTS ketika pulang dari kampus malam hari, padahal dia
sedang mengenakan jilbab. Pola
pemahaman dan penafsiran terhadap jilbab
seperti yang dilakukan Noor ini cukup banyak, dan bisa dikatakan sebagai suatu
gejala yang biasa di kalangan aktivis yang bergelut dengan wacana. Suatu
kesangsian semiotis terhadap jilbab
dengan kesimpulan yang terlalu fatalis.
Namun, ketiga studi kasus yang
dikemukakan oleh Washburn tersebut bisa dikatakan sebagai kasus jilbab “serius” di mana ketiga responden
yang diwawancarainya memiliki suatu konsep yang dipikirkan serta diyakininya.
Pada kenyataannya ada juga fenomena lain dari jilbab yang dapat dikategorikan sebagai suatu fenomena gaya hidup
pop, fenomena yang biasanya dikenal dengan nama ‘kudung gaul”, “jilbab lontong”, atau “jilbab trendi.” Perempuan yang
mengenakan kudung gaul tersebut
biasanya selalu mengenakan jilbab
pada saat bepergian keluar rumah—berbeda dari Noor—namun jilbab itu kemudian dikombinasikan dengan pakaian berupa sweater atau t-shirt yang “kekecilan” (body
fit) sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya dan tergantung di atas
pinggangnya, serta celana (jeans
maupun katun) yang juga ketat (stretch
atau hipster). Cara berpakaian ini
memang sedang menjadi suatu trend fashion yang seringkali diidentikkan
sebagai pakaian anak gaul. Oleh
karena itu—berbeda dengan ketiga responden yang diwawancarai Washburn—cara
pandang mereka terhadap jilbab
sangatlah banal dan permukaan, selain itu dalam pergaulan pun mereka mengikuti
etika yang berlaku pada komunitas anak
gaul, seperti cara berpacaran, kebiasaan jalan-jalan di mal, ngeceng, mendatangi jumpa fans atau konser idolanya dan
berteriak-teriak histeris, bahkan dalam beberapa kasus ada yang hingga hamil di
luar nikah. Kudung gaul dalam hal ini
bisa dikatakan sebagai suatu bentuk ideologi skizofrenik.
“Busana muslimah kian trendi,”
begitu headline yang tertulis di
suatu koran nasional dan menandakan bahwa dunia fashion pada akhirnya melirik busana muslimah sebagai alternatif
gaya seperti yang terjadi pada tanggal 10 Januari 1996 di mana digelar peragaan
busana dengan tema “Tendensi Busana Muslim” yang mengambil tempat di Puri
Agung, Hotel Sahid Jakarta dan memperagakan karya-karya dari 12 desainer. Pada
saat itu, peragaan tersebut bisa dikatakan merupakan suatu terobosan baru,
suatu pergelaran besar yang menyajikan keanggunan dan kemewahan busana muslimah
yang kemilau, yang dapat membuat seorang ibu menangis karena kehabisan undangan
seharga Rp. 45000 (suatu harga yang cukup mahal untuk saat itu). Acara ini
merupakan suatu upaya adaptasi busana muslimah yang dulu diidentikkan dengan
pakaian kaum pinggiran kepada kalangan atas, dan, sebagaimana layaknya peragaan
fashion lainnya, hanya 30% saja dari
busana yang diperagakan dapat dipakai, sedang sisanya hanyalah untuk menarik
perhatian saja. Atau paling tidak untuk melepaskan keinginan terpendam sang
desainer yang diungkapkan lewat karya-karyanya yang “aneh”; suatu cara untuk
menghindari kejenuhan akan model busana yang itu-itu saja;[xl][40]
tentu saja kreasi-kreasi tersebut memang terlalu riskan untuk dikatakan
memenuhi syarat-syarat digariskan dalam syari’at Islam. Fenomena lainnya adalah
bahwa pada saat ini pun relatif lebih mudah untuk menemukan showroom busana muslimah dengan
koleksi-koleksinya yang menarik. Harganya pun ada yang berkisar hingga ratusan
ribu ke atas. Busana muslimah pun kini muncul dalam berbagai corak dan warna,
bahkan juga dipadukan dengan berbagai corak etnik. Mengenai ini Kees van Dijk
mencatat,
Kekayaan dan kerumitan
juga tidak bebas dari pelanggaran-pelanggaran. Salah satu konsekuensi dari
penekanan yang baru terhadap Islam adalah pengadopsian gaya busana Muslim—untuk
pemakaian sehari-hari juga untuk peristiwa-peristiwa yang lebih seremonial—dan
gaya busana Muslim memperlihatkan… Rok-rok yang panjang dan kepala yang
berhijab—hiasan jilbab Muslim yang bergaya banyak dicari—namun ajaran yang
paling ketat mengenai bahan-bahan pakaian Muslim yang pantas tidak dijadikan
sebagai sebuah hukum. Pakaian-pakaian berwarna-warni cerah, dan tidak selalu
serba menyembunyikan. Muslimah di Indonesia, sebagaimana pernah dinyatakan
dalam suatu pertunjukan semacam itu, ‘menginginkan busana yang menarik, nyaman,
dan memungkinkan kebebasan gerak’. Pertunjukan busana Muslim diselenggarakan
serangkai dengan pertunjukan ‘biasa’ lainnya, dimana pakaian yang sesuai dengan
ajaran Islam dipertunjukkan sebagaimana juga dengan gaya-gaya lain yang lebih
berani…Meski demikian, pertunjukan busana Muslim merupakan sebuah indikasi pergeseran
gradual menuju nilai-nilai Islam, sebagaimana popularitas ‘Muslim pop’, wahana
para artis dan penyanyi yang telah berubah menjadi religius.[xli][41]
Dalam kenyataannya memang gaya visual bisa menyatu dengan gaya hidup
karena manusia tidak bisa lepas dari bahasa rupa, baik tiga dimensi maupun dua
dimensi. Pada zaman tradisional masyarakat terbagi sangat jelas baik melalui
perhiasan ataupun pakaian. Peter York menyatakan bahwa dibanding dengan hari
ini, orang jaman dulu hidup dalam penjara gaya karena dalam masyarakat tradisi
lama gaya visualnya relatif tidak banyak berubah. Adapun dalam sistem
masyarakat modern batas-batas budaya lokal, nasional maupun regional dengan
cepat menghilang karena arus gelombang gaya hidup global melalui media sangat
mudah untuk berpindah-pindah tempat. Alvin Toffler menyatakan bahwa sekarang
ini terjadi kekacauan nilai, yang diakibatkan oleh runtuhnya sistem nilai
tradisional yang mapan sehingga yang ada adalah nilai-nilai terbatas seperti
kotak-kotak nilai yang disebutnya sebagai subkultur (sebagai akibat peralihan
dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern). Toffler mendefinisikan gaya
hidup sebagai,
…alat yang dipakai oleh individu untuk menunjukkan identifikasi mereka
dengan subkultur tertentu. Setiap gaya hidup disusun dari mosaik beberapa item,
yaitu “super-product” yang
menyediakan cara mengorganisir produk dan idea.[xlii][42]
Dalam perspektif ini, maka
busana muslimah pun bisa dikategorikan sebagai sebuah gaya hidup yang
menawarkan sebuah identitas sekaligus sarana untuk menghindari kebingungan
dikarenakan begitu banyak pilihan. Namun, gaya hidup yang berkembang hari ini
sangat beragam, mengambang dan tidak hanya dimiliki oleh suatu masyarakat
khusus. Dengan kata lain, semua individu adalah konsumer yang bisa memilih dan
membeli gaya hidupnya sendiri sesukanya sehingga terjadilah ketidakpastian akan
nilai dan gaya hidup yang sebenarnya ditawarkan oleh busana muslim. Karena
sistem “pasar gaya hidup” inilah maka perubahan yang radikal dan ironis dalam
idiom busana muslimah pun terjadi secara paradigmatik maupun sintagmatik.
Hijab
untuk bagian kepala biasanya berupa jilbab
yang telah dijahit sedemikian rupa, namun secara paradigmatik dia bisa
digantikan dengan sehelai kain entah berupa kain saja, taplak atau bahkan selimut
(mengingat pada masa awal turunnya perintah jilbab
ini banyak sekali kaum muslimin yang hidup sangat kekurangan) namun tetap
dengan mengindahkan syari’at penutupan aurat. Sedang secara sintagmatik hijab biasanya terdiri dari khimar, dir’, niqab dan burq, idzar, rida’, dan jilbab. Selain itu, secara sintagmatik
pula, warna hijab membentuk idiom
yang memiliki makna-makna spiritual seperti warna hitam dan warna merah seperti
yang telah diuraikan di atas. Warna-warna lain pun memiliki makna spiritual
seperti warna putih--warna yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw—melambangkan
kesucian nafs dengan
keberserahdiriannya. Biru gunung lambang kehendak yang mantap, biru samudra
lambang kebijaksanaan yang dalam, biru keungu-unguan lambang qalb yang rapuh tanpa kesetiaan, kuning
gading lambang kerinduan yang dalam akan perintah Tuhan, dan lain sebagainya.[xliii][43]
Sedangkan hari ini idiom hijab atau busana muslimah tersebut
diubah secara paradigmatik. Jilbab,
misalnya, diganti dengan sebuah topi yang menutupi rambut saja, atau ciput yang biasanya hanya menjadi bagian
dalam dari jilbab, atau bahan-bahan
lainnya yang biasanya fashionable namun
masih menampakkan bagian leher. Selain itu secara sintagmatik jilbab, misalnya lagi, dipadukan dengan sweater atau t-shirt body fit ditambah
celana atau jeans yang ketat (stretch atau hipster), plus kosmetik tebal dan parfum yang menyengat. Selain
itu, pemilihan warna pun dikombinasikan hanya sebatas pertimbangan matching atau tidak, sebatas estetika
pop saja.[xliv][44]
Sebagaimana yang dicatat juga oleh Lama Abu Odeh,
Dan ada pula mereka
yang menggunakan warna-warni, malu-malu namun dengan berani, semakin menjadi
lebih memasyarakat. Mereka mengenakan make-up dengan hijabnya. Mereka lebih
kreatif, mengikuti gaya busana masyarakat, secara konstan berupaya melunakkan
hijab. Mereka menciptakan beragam cara untuk mengikatkan scarf kerudung pada
leher mereka, yang dengan sendirinya menjadi lebih berwarna-warni selain warna
putih standar. Pakaian hijab yang longgar tiba-tiba menjadi sedikit lebih ketat,
lebih berwarna, lebih berani dalam meniru busana Barat, bahkan jika hal ini
tidak secara eksplisit memperlihatkan bagian tubuh wnaita. Kita dapat pula
memperhatikan mereka di jalan-jalan bercakap-cakap dengan pria, berjalan-jalan
dengan mereka, menumbangkan pemisahan yang dikedepankan oleh hijab terhadap
perbedaan jenis kelamin.[xlv][45]
Hal ini bisa dilihat pada
kostum pramugari di berbagai penerbangan dunia Arab yang menggunakan kostum
rancangan desainer-desainer Prancis yang tidak lagi mengindahkan norma-norma
motif maupun bentuk tradisional yang penuh dengan makna-makna spiritual. Selain
itu, desainer dalam pengungkapan fashionnya
biasanya selalu berpindah-pindah dalam memilih bagian tubuh yang ingin
ditonjolkannya, dan umumnya yang menjadi perhatian adalah daerah-daerah erogen,
seperti dada, pinggang, paha, pantat, kaki, tangan dan bagian tubuh lainnya
yang selalu dikaitkan dengan kewanitaan. Prediksi Jean-Luc Godard luput ketika
dia menyatakan “It may be that one has to
choose between ethics and aesthetics, but whichever one chooses, one will
always find the other at the end of the road.”[xlvi][46]
Berkaitan dengan hal ini Lama Abu Odeh mencatat,
Andaikan kita dapat membekukan waktu tersebut dalam era 70-an, dalam
upaya untuk memahami hubungan wanita dengan tubuh mereka, kita akan
menemukannya berlapis-lapis dan amat rumit. Dari satu sisi tubuh mereka nampak
sebagai medan perang dimana perjuangan budaya masyarakat pasca kolonial
berlangsung. Di sisi lain, busana Barat yang menutupi tubuh mereka membawa dengannya
konstruksi kapitalis atas tubuh wanita: yang terseksualisasi, terobjektivikasi,
terbendakan, dsb… Namun karena kapitalisme tidak pernah benar-benar menang
dalam masyarakat pasca kolonial, dimana ia berhasil tinggal bersama dengan
formasi-formasi sosial pra-kapitalis (tradisionalisme), tubuh-tubuh para wanita
ini juga secara simultan terkonstruksi secara ‘tradisional’: ‘terbendakan’,
‘termilikkan’, terteror sebagai wakil kehormatan (seksual) keluarga. Proses
tinggal bersama (kohabitasi) dalam tubuh wanita dari konstruksi ganda ini (yang
kapitalis dan yang tradisional) dialami oleh para wanita ini sebagai sesuatu
yang senantiasa berselisihan. Yang awal seperti memaksa mereka untuk menjadi
perayu, seksi dan seksual, sementara yang terakhir menjadi pemalu, konservatif
dan aseksual. Di mana yang awal didukung oleh atraksi pasar (konsumsi
komoditas-komoditas Barat), yang terakhir didukung oleh ancaman kekerasan (sang
wanita amat disucikan, seringkali dengan kematian, jika ia mengorbankan
kehormatan seksual keluarga).[xlvii][47]
Fashion
pada dasarnya adalah suatu antusiasme yang singkat terhadap sesuatu seperti
pada gaya berpakaian. Gejolak tersebut datang dan pergi secara cepat dengan
kekuatan tinggi, suatu phantasmagoria
yang tak ubahnya musim dengan waktu sendiri. Selain itu, fashion pun merepresentasikan kecenderungan perilaku manusia yang
berlangsung sangat singkat. Dalam masyarakat modern fashion merupakan suatu industri yang memutar faktor manusia dan
modal yang kemudian menjadikannya sebagai suatu kebutuhan industri sehingga
terbentuklah pola-pola yang berkaitan dengan perkembangan fashion. Penilaian terhadap suatu komoditi (dalam hal ini adalah
busana muslimah) ditentukan oleh pola pikir masyarakat yang berkembang pada
saat itu yang dapat menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui
media sehingga mengembangbiakkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,
makna-makna konotatif; inilah ideologi.
Studi konotasi dalam gaya
hidup pop diulas secara rinci oleh Roland Barthes dengan semiologi dengan mengamati
pengkeramatan yang berhasil mengubah budaya borjuis kecil sehingga menjadi
berkesan universal, menyingkapkan konotasi yang pada dasarnya adalah
“mitos-mitos” yang dibangkitkan oleh sistem tanda lebih luas yang membentuk
masyarakat. Mitos-mitos menyelimuti hidup manusia dengan sedemikan halusnya
justru karena mereka nampak benar-benar alami. Konotasi, meskipun merupakan
sifat asli tanda, agar dapat berfungsi dia membutuhkan keaktifan pembaca. Dan
Barthes pun membuat peta tentang bagaimana tanda bekerja.[xlviii][48]
|
|
{ |
1. Penanda |
2. Petanda |
|
Bahasa |
{ |
3. tanda I. PENANDA |
II. PETANDA |
||
MITOS |
|
||||
|
|
III. TANDA |
Hal ini dijelaskan lebih jauh
oleh Barthes sebagai berikut,
Penanda-penanda
konotasi, yang dapat kita sebut konotator,
terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan
penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Secara alamiah beberapa
tanda dapat dikelompokkan bersama untuk membuat sebuah konotator
tunggal—asalkan yang disebut terakhir tadi memiliki sebuah petanda konotator
tunggal; atau dengan kata lain, satuan-satuan dari sistem terkonotasi tidak
mesti memiliki ukuran yang sama dengan sistem yang tertandakan: fragmen-fragmen
besar dari diskursus yang bersangkutan dapat membentuk sebuah satuan sistem
terkonotasi tunggal (inilah kasus, sebagai contoh, dengan nada suatu teks, yang
tersusun dari sejumlah banyak kata, namun maka dari itu merujuk pada sebuah
petanda tunggal). Bagaimanapun caranya ia dapat menutup pesan yang ditunjukkan,
konotasi tidak menghabiskannya: selalu saja tertinggal ‘sesuatu yang
tertunjukkan’ (jika tidak diskursus menjadi tidak mungkin sama sekali) dan
konotator-konotator selalu berada dalam analisa tanda-tanda yang diskontinu dan
tercerai-berai, dinaturalisasi oleh bahasa pemerlihat yang membawanya.
Sedangkan untuk petanda
konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus; itu adalah, jika
anda mau, sebuah fragmen ideologi. … Petanda-petanda ini memiliki suatu
komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui
merekalah, demikian dikatakan, dunia yang melingkunginya menginvasi sistem
tersebut. Kita dapat katakan bahwa ideologi adalah suatu form (dalam pemaknaan seperti Hjemslev)
penanda-penanda konotasi, sementara retorika adalah form dari konotator-konotator.[xlix][49]
Pendek kata, konotasi merupakan
aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Penggunaan tanda
satu persatu dapat mengurangi kecenderungan “anarkis” penciptaan makna yang tak
berkesudahan, di sisi lain, namun keanekaragaman budaya dan perubahan
terus-menerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat global dan
tersebar. Ideologi, secara semiotika, adalah penggunaan makna-makna konotasi
tersebut di masyarakat, makna tingkat ketiga, seperti tergambar dalam bagan
berikut.[l][50]
Secara sekilas bagan tersebut
mengisyaratkan bahwasanya tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang
bukan ideologi, namun sebenarnya tidak seperti itu. Ideologi, pada hakikatnya,
adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang
kemudian mengajak (interpellation)
kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu “bahasa” sehingga
membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi
tersebut.
… Apa yang sebenarnya
ditunjuknya adalah sebuah himpunan relasi-relasi yang ada, tidak seperti suatu
konsep ilmiah, ia tidak menyediakan kita dengan sebuah alat untuk
mengetahuinya. Dalam suatu cara khusus (ideologis), ia menunjukkan beberapa
eksistensi, namun tidak memberikan kita esensinya.[li][51]
Ideologi berbeda dengan konsep
sains, dan lebih berbeda lagi dengan kesadaran iluminatif. Kesadaran iluminatif
berada pada tingkat kesadaran nafs
yang merembes dari Ruh Al-Quds,
sementara kesadaran ideologis berada pada tingkat kesadaran psikis, atau lebih
tepatnya lagi di wilayah ego yang merupakan sistem representasi berupa image yang mengkonstruksi doxa (waham atau kesadaran semu) yang bersumber dari fakultas-fakultas
tubuh.[lii][52]
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, jilbab
adalah pakaian yang diwajibkan bagi al-mu’minaat
(dengan kesadaran iluminatifnya) sebagai representasi dari qalbnya yang tercahayai serta nafsnya
yang tersucikan; sedang apabila jilbab
masih berupa suatu sistem penampakan entah berupa fashion, simbol keagamaan, wacana (dekonstruksi) maupun kesadaran
non iluminatif, maka pada tataran tersebut jilbab
masih merupakan kesadaran ideologis yang sangat rentan terhadap permainan
semiotis.
Bukanlah keinginan akan
objek-objek yang mendorong fetisisme komoditi, namun “keinginan untuk suatu
kode… Inilah artikulasi mendasar dari proses ideologis: tidak dari proyeksi
kesadaran yang teralienasi ke dalam berbagai superstruktur, namun dalam
generalisasi pada seluruh tingkatan dari suatu kode struktural[liii][53]… [Maka ideologi] bukanlah suatu tipuan misterius
dari kesadaran; ia adalah suatu logika sosial yang disubstitusikan untuk
lainnya (dan yang menyelesaikan kontradiksi yang sebelumnya), sehingga mengubah
definisi dari nilai itu sendiri[liv][54] Ia
adalah sihir dari kode yang membentuk “dasar dominasi” …[Ideologi] nampak
sebagai semacam selancar kultural berbuih di atas tepian pantai ekonomi.[lv][55]
Permainan tanda dalam busana
kini seakan menjadi perjuangan akan pluralitas dan identitas yang seringkali
dilakukan dengan pencurian tanda dari suatu kode yang telah mapan dan diberi
makna baru yang, tak jarang, ironis.
Perjuangan di antara diskursus, definisi dan makna yang berbeda di dalam
ideologi oleh karena itu pada saat yang sama selalu merupakan sebuah perjuangan
di dalam signifikansi: sebuah perjuangan untuk pemilikan tanda yang meluas
hingga bidang-bidang yang paling mendunia dari kehidupan sehari-hari…
[objek-objek] dapat disesuaikan secara ajaib; ‘dicuri’ oleh kelompok-kelompok
subordinat dan dibuat membawa makna-makna ‘rahasia’: makna-makna yang menyatakan,
dalam kode, sebuah bentuk resistansi terhadap aturan yang menjamin subordinasi
mereka yang berkelanjutan.[lvi][56]
Hijab
sebagai busana muslimah kini mengalami deviasi dalam bentuk yang lebih halus;
dia tidak lagi dikaitkan praktek takhayul yang naif, tidak pula dengan
tabu-tabu, akan tetapi dengan image
(semata) atau, dalam bentuk yang lebih sophisticated,
wacana dekonstruksi (syari’at). Seperti yang juga terjadi pada Hippies, Punk, dan lainnya, jilbab
pun tidak terlepas dari sentuhan “Raja Midas” kapitalisme yang mengubahnya
menjadi kode-kode komoditi yang bebas dikonsumsi. Misalnya dalam acara-acara
keagamaan di televisi, setelah syarat-syarat utama sang presenter terpenuhi—cantik, terkenal, artikulatif dan memiliki image ramah dan riang—maka kemudian dilengkapilah
dengan hijab sebagai kode acara
tersebut (hal serupa tidak selalu “diberlakukan” kepada presenter laki-laki). Pada kesempatan lain, bisa saja sang presenter kemudian tampil di acara yang
bernuansa pantai atau kolam renang dengan tuntutan swimsuit atau bikini
sebagai kodenya. Hal ini menjadi sesuatu yang umum karena pakaian cenderung
dipakai sebagai representasi ideologi yang seakan dijajarkan dalam suatu
etalase, dalam suatu “demokrasi selera” dari sekian banyak tawaran pilihan gaya
hidup yang disediakan; dan, terutama dalam “dunia gemerlap”, hijab hanyalah salah satu dari sekian
banyak daftar pakaian yang harus dikenakan dalam menjalani profesi sebagai
“tukang pesta” (baca: selebritis).
Permainan semiotis dari
simbol-simbol keagamaan tidak hanya terjadi pada hijab saja, contoh lainnya adalah seperti penggunaan peci haji yang
secara sintagmatik dipadukan dengan kode busana gaul lainnya yang, tentu saja,
menghilangkan image spiritualitasnya,
dan digantikan dengan image yang baru
sama sekali. Atau janggut yang pernah terdeviasi menjadi simbol dari para
penganut islam fundamentalis, kini dijungkirbalikkan menjadi kode milik anak gaul dengan cara diberi warna-warna
yang menyolok. Makna-makna kebudayaan yang adiluhung dan dalam tampak terlalu
canggih untuk bisa dipahami oleh gaya hidup pop (habitus), apalagi makna-makna spiritual. Bahkan dengan lantangnya
sebuah iklan meneriakkan “Saya mungkin
tidak mengerti makna kehidupan. Tapi jangan katakan bahwa saya tidak tahu
bagaimana menikmatinya.” Makna adalah masalah bagi semangat gaya hidup pop,
sesuatu yang secara superlatif digambarkan oleh Baudrillard bahwasanya
Tidak ada kesejatian objek, dan denotasi tidak akan pernah lebih dari
sekedar konotasi-konotasi yang paling molek…. Fungsi(onalitas) bentuk-bentuk,
objek-objek, menjadi lebih tak terpahami, tak terbaca, tak terhitung, setiap
hari.[lvii][57]
Barthes, yang ingin
menghancurkan gagasan bahwa tanda itu bersifat alami, pernah menganalisis
bagaimana kaitan antara pakaian, tabu dan tanda yang ingin dikomunikasikan oleh
si pemakai kepada masyarakat. Dia mengemukakan bahwa tabu-tabu pada gaya
berpakaian bukanlah suatu batasan akan kebebasan manusia, melainkan tabu itu
memperingatkan bahwa jenis-jenis pakaian tertentu akan menciptakan suatu citra
diri sang pemakai dalam pandangan orang lain. Orang bisa saja mengabaikan
peringatan ini, namun kemudian dia
harus menjalani konsekuensi dari citra yang diciptakannya di dalam benak-benak
orang lain yang melihatnya. Tak jarang bahwa citra yang diciptakan dari suatu
gaya berpakaian yang asing biasanya memang bertujuan untuk menarik perhatian
orang lain, seperti gaya punk yang
“menantang” orang lain dengan anting, peniti, rantai dan kalung anjing, serta
gembok. Atribut-atribut tersebut sangat riskan untuk menimbulkan rasa sakit
bagi para pemakainya, sangat mudah bagi orang lain untuk menyakitinya dengan
memegang dan menarik atribut-atribut tersebut dari tubuh mereka, tapi pada
kenyataannya tak ada orang yang iseng melakukannya. Dalam hal ini, kudung gaul tampaknya secara terang-terangan
ingin mengajukan suatu citraan mengenai modernitas yang bersatu dengan
religiusitas, atau suatu teka-teki yang memaksa masyarakat untuk mencari kaitan
antara religiusitas dan keseksian yang mereka gabungkan dalam gaya pakaiannya.
Barthes mengajukan bahwa manusia itu senantiasa menyadari efek dari cara
berpakaiannya terhadap orang lain, namun mereka selalu mencoba berpura-pura
bahwa cara mereka berpakaian itu sangat alami dan spontan. Mereka sebenarnya
mengekspresikan kesadaran, pilihan yang secara gaya hidup telah ditentukan dan
cara mereka ingin dilihat oleh orang lain.
Lama Abu Odeh pun pernah
memberikan ilustrasi bagaimana dengan berjilbab seorang perempuan dapat
terhindar dari pelecehan seksual (sexual
harassment), terlindung dari perkataan dan perlakuan yang tidak senonoh
terhadap dirinya dibanding dengan perempuan yang berpakaian “terbuka” seperti
yang dikemukakannya bahwa
Kesediaan seorang
wanita untuk mengemukakan keberatan terhadap gangguan pria sangatlah berbeda
ketika ia berhijab. Rasa ‘untuk tidak tersentuh’ dari tubuhnya biasanya lebih
kuat dari pada seorang wanita yang tidak berhijab.[lviii][58]
Namun hal itu ternyata tidak
berlaku bagi para perempuan pengguna kudung
gaul dikarenakan mereka masih menonjolkan daya tarik tubuhnya kepada
laki-laki (di samping kode-kode gaul yang digunakannya dalam berinteraksi
secara sosial) yang secara otomatis menghilangkan “rasa segan” terhadap
perempuan berjilbab pada umumnya untuk kemudian mereka pun cenderung
diperlakukan sama dengan perempuan yang berpakaian “terbuka” lainnya.
Tidak perlu merangkai
kata-kata hingga menjadi kalimat demi mewakili ide, juga tidak perlu
membicarakanya melalui alat-alat suara demi menyampaikan sebuah maksud, adalah
tubuh dan segala sesuatu yang dipakaikan ke tubuh yang akan membentuk
“kata-kata” atau alat untuk menyampaikan ide. Pakaian adalah ekspresi dari
suatu jalan hidup, sedang hijab,
khususnya, merupakan representasi spiritualitas. Namun, simbol, bagaimanapun,
dapat dipandang sebagai suatu entitas kosong yang bisa diisi dengan petanda
apapun. Oleh karena itu, Washburn
pun mengkategorikan jilbab sebagai personal symbol yang membawa makna baik
di tingkat personal maupun kebudayaan (dan habitus)
karena tidak semua orang memakainya.[lix][59]
Secanggih-canggihnya semiotika membeberkan wacana jilbab tetaplah sulit untuk
bisa mewakili keseluruhan fenomena jilbab yang ada hari ini karena hal tersebut
selalu berkaitan kepribadian si pemakai dan pemaknaan subyektifnya. Jilbab
dalam basis teologinya kini senantiasa berada dalam dilema ketika berhadapan
dengan media dan gaya hidup pop, ketika berhadapan dengan persimpangan jalan
antara nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai gaul.
Tampaknya pola sejarah manusia
memang berjalan ke arah yang semakin halus. Tak ada lagi perbudakan manusia
secara fisik di dunia ini, yang kemudian berganti pola menjadi apa yang biasa
dikenal sebagai hegemoni. Tak ada lagi fetishisme terhadap berhala, berganti
menjadi fetishisme terhadap komoditi dan citra yang dikandungnya. Begitu pula
halnya dengan hijab sebagai simbol
keagamaan, deviasi yang dialaminya bukan lagi berupa takhayul-takhayul yang
naif, tabu-tabu yang menekan perempuan, tapi bergerak ke arah yang semakin
halus berupa deviasi semiotik atau pembacaan berbasis wacana yang semakin sophisticated. Dalam garis tipis halus
dan licin itulah kini manusia diuji dan disaring ihwal kemurnian niatnya dalam
mencari Tuhan.
Catatan Kaki:
[i][1] Lihat Nasaruddin Umar, (1996): Antropologi Jilbab, dalam Ulumul Qur’an, no. 5, vol. VI, Lembaga Studi Agama dan Filsafat bekerjasama dengan Pusat Peranserta Masyarakat, hal. 36.
[ii][2] Epstein, Louis M., (1967): Sex, Laws and Customs in Judaism, Ktav Publishing House, Inc.: New York, hal. 36.
[iii][3] Ilyas Islam, The Hijâb in the Qur’ân, sebuah artikel dari internet.
[iv][4] Ibid.
[v][5] Nasaruddin (1996), dikutip dari Abdul Halim Abu Syaqqah, Tahrir al-Ma’rah fi ‘Ashr al-Risalah, Juz IV, Darul Qalam lil-nasyr wal-Tauzi’: Mesir, hal. 54.
[vi][6] Ilyas, op.cit.
[vii][7] Ibid.
[viii][8] Farzaneh Milani, (1992): Veils and Words: The Emerging Voices of Iranian Women Writer, Syracuse University: New York, hal. 20.
[ix][9] Ibid., hal. 37.
[x][10] Lihat Beryl Causari Syamwil dalam Busana Muslimah kian Trendi, Republika, Minggu, 28 Januari 1996, hal. 4.
[xi][11] Ahmad Mansyur Suryanegara, (1991): Membudayakan kembali Libasut Taqwa di Indonesia, Diskusi Busana Muslimah, Festival Istiqlal 1991, 29 Oktober, Hotel Borobudur Intercontinental, Jakarta.
[xii][12] Dijk, Kees van, (1997): Sarong, Jubbah, and Trouser, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.): Outward Appearances: Dressing State & Society in Indonesia, KITLV Press: Leiden, hal. 43.
[xiii][13] Nasaruddin Umar,
(1995): Teologi Menstrual: Antara Mitologi dan Kitab Suci, dalam Jurnal
Ulumul Qur’an, no. 2, vol. VI, Lembaga Studi Agama dan Filsafat & Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia. Lengkapnya penderitaan itu adalah sebagai berikut,
bahwa bagi Adam beserta seluruh kaumnya kutukannya adalah:
1. 1. Sebelum terjadi kasus
pelanggaran (spiritual decline) postur tubuh laki-laki lebih tinggi dari
pada bentuk normal sesudahnya.
2. 2. Laki-laki akan merasa
lemah ketika ejakulasi.
3. 3. Bumi akan ditumbuhi
banyak pohon berduri.
4. 4. Laki-laki akan merasa
susah dalam memperoleh mata pencarian.
5. 5. Laki-laki pernah makan
rumput di lapangan rumput, tetapi Adam memohon kepada Tuhan agar kutukan yang
satu ini dihilangkan.
6. 6. Laki-laki akan memakan
makanan dengan mengeluarkan keringat di alisnya.
7. 7. Adam kehilangan
ketampanannya yang menakjubkan yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
8. 8. Ditinggalkan oleh ular
yang sebelumnya telah menjadi pembantu setia laki-laki.
9. 9. Adam dibuang dari taman
Surga dan kehilangan status sebagai penguasa jagat raya.
10. 10. Laki-laki diciptakan dari debu dan akan kembali
menjadi debu. Ia ditakdirkan untuk mati dan dikubur.
Sedang bagi Hawa beserta seluruh kaumnya kutukannya adalah:
1. 1. Wanita akan mengalami
siklus menstruasi, yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh Hawa.
2. 2. Wanita yang pertama
kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit.
3. 3. Wanita akan mengalami
penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya yang membutuhkan
perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan hingga dewasa. Ibu merasa risih
manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti diharapkan.
4. 4. Wanita akan merasa malu
terhadap tubuhnya sendiri.
5. 5. Wanita akan merasa
tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua.
6. 6. Wanita akan merasa
sakit pada waktu melahirkan.
7. 7. Wanita tidak boleh
mengawini lebih dari satu laki-laki.
8. 8. Wanita masih akan
merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi.
9. 9. Wanita sangat berhasrat
melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan
hasrat itu kepadanya.
10. 10. Wanita lebih suka tinggal di rumah.
[xiv][14] Salah satu pembahasan yang cukup menarik, misalnya, bisa dibaca pada tulisan Robin Edgar berjudul Red Moon Rising: Menstrual Symbolism in Total Lunar Eclipses di sebuah situs internet.
[xv][15] Nasaruddin (1995), sebagaimana dikutip dari Lara Owen, (1993): Her Blood is Gold: Celebrating the Power of Menstruation, Harper: San Francisco, hal. 29.
[xvi][16] Grahn, Judy, (1993): Blood, Bread, and Roses: How Menstruation Created the World, Beacon Press: Boston, hal. 87.
[xvii][17] Nasaruddin, (1995 & 1996), op.cit., hal. 78 & 43, dikutip dari beberapa sumber yaitu Franz Steiner, (1956): Taboo, Penguin: London, hal. 32; Evelyn Red, (1993): Woman’s Evolution, Pathfinder: New York; Thomas Buckley & Alma Goettlieb, (1988): Blood Magic: The Anthropology of Menstruation, University of California Press: Berkeley, hal. 7.
[xviii][18] Nasaruddin, (1995), op.cit., hal. 78.
[xix][19] Epstein, (1967), op.cit., hal. 41.
[xx][20] Akbar S. Ahmed, (1997): Living Islam: Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand Hingga Stornoway, alih bahasa oleh Pangestuningsih, Mizan: Bandung, hal.233.
[xxi][21] Nasaruddin, (1995), op.cit., sebagaimana dikutip dari Mustafa Hashem Sherif, What is Hijab, dalam Journal the Muslim World, vo. LXXVIII, no. 2, hal. 157.
[xxii][22] Nasaruddin, (1996), op.cit. hal. 39.
[xxiii][23] Akbar S. Ahmed, (1997): op.cit., hal. 232-233.
[xxiv][24] Habitus adalah sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Pierre Bourdieu yang didefinisikan sebagai “Sebuah sistem disposisi yang kekal dan berpindah-pindah, yang mengintegrasikan pengalaman-pengalaman masa lalu, berfungsi pada setiap kesempatan sebagai sebuah matriks persepsi, apresiasi, dan tindakan-tindakan dan memungkinkan pencapaian berbagai tugas yang tidak terhingga, berkat jasa transformasi skema-skema analogis yang memungkinkan solusi masalah yang terbentuk nyaris serupa. (dalam Outlineof a Theory of Practice, hal. 83). Sedangkan disposisi itu sendiri adalah “alam kedua” yang diperoleh manusia melalui habitus. Namun dalam artikel ini istilah tersebut digunakan untuk membedakan dari budaya yang memiliki nilai-nilai adiluhung. Habitus dalam hal ini lebih mengarah kepada gaya hidup pop atau kebiasaan hidup sehari-hari yang berdasarkan nilai-nilai yang banal dan permukaan. Masalah ini, Insya Allah, akan dibahas tersendiri dalam tulisan berjudul “Jiwa/Budaya dan Tubuh/Peradaban” yang sedang dalam pengerjaan.
[xxv][25] Lihat Terrence Hawkes, (1988): Structuralism and Semiotics, Routledge: London.
[xxvi][26] Adapun perkara ad-Diin
diperjelas lebih jauh dalam sebuah hadits
Pada suatu hari kami (‘Umar bin Khattab r.a. dan para sahabat r.a.
lainnya) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami
seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak
tanda-tanda perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia
langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghimpit kedua kaki
Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw,
seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahu aku tentang Al-Islam.” Lalu
Rasulullah Saw menjawab, “Al-Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada
tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.” Kemudian dia
bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang Al-Iman.” Rasulullah Saw
menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qadar baik dan buruknya.” Orang
itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang Al-Ihsan.”
Rasulullah berkata, “Beribadahlah kepada Allah seolah-olah anda melihatNYA
walaupun Anda tidak melihatNYA, karena sesungguhnya Allah melihat Anda.” ……
Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw
bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?”
Lalu Aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasulNYA lebih mengetahui.” Rasulullah
lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan Ad-Diin kalian.”
(Al-Hadits)
Imam Ali bin Abi Thalib kwh menegaskan Awaludinna Ma’rifatullah,
“Awal dari Ad-Diin adalah ma’rifatullah.” Adapun ma’rifat itu sendiri
adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, Man ‘arafa nasfahu faqad
‘arafa Rabbahu, “Barangsiapa yang mengenal nafsnya maka sungguh ia
akan mengenal Rabbnya.” Kemudian Imam Al-Ghazali r.a. pun memberikan
catatan mengenai hal ini bahwa “kemuliaan dan keutamaan manusia…adalah
disebabkan persediaannya mengenal Allah (ma’rifatullah)…di mana ma’rifatullah
itu di dunia adalah keelokan, kesempurnaan dan kebanggaannya manusia. Dan di
akhirat adalah alat dan simpanannya.” Ad-Diin didirikan diatas tiga
sendi, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan; padanannya dalam
Al-Qur’an adalah Iman dan Amal Shalih. Perkara iman diatur dan
berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai Aqidah dan Tauhid, sedang perkara
amal shalih diatur dan berkaitan langsung dengan Syari’at. Namun Syari’at pun
terbagi menjadi dua yaitu, pertama, Syari’at Lahir yang diatur dan
berkaitan langsung dengan fiqih dan menghukumi pada tingkatan karya. Kedua,
adalah Syari’at Bathin yang menghukumi pada tingkatan rasa, karsa
dan cipta yang di kemudian hari dikenal dengan nama Tashawwuf. [Klik di sini
untuk melihat bagan]
Pembahasan lebih detail mengenai masalah ini lihat “Serambi Suluk”, op.cit.
[xxvii][27] Imam Al-Ghazali ra
mengemukakan dua pengertian iman, yaitu pengertian majazi, di mana iman diartikan sebagai percaya, dan pengertian haqiqi, di mana iman diartikan sebagai
cahaya. Lebih jauh, beliau pun membagi tiga tingkatan iman,[xxvii][27] yaitu
1.
Iman awami, yaitu imannya
orang-orang yang awam, yang semata-mata taqlid,
di mana iman dipahami sebagai percaya.
2.
Iman mutakalimiin, yaitu imannya para ahli
kalam yang bercampur aduk dengan berbagai macam dalil, dan tingkatannya
mendekati tingkat keimanan orang awam.
3.
Iman ‘Arifiin, yaitu imannya para al-mu’min, orang-orang telah ma’rifat
kepada Allah SWT, tingkat keimanan dari orang-orang yang menyaksikan dengan nur
keyakinan.
Lebih jauh mengenai kaitan iman dengan qalb (dan pada gilirannya nanti adalah ketaqwaan) tergambarkan
secara gamblang dalam hadits bahwa
Qalb itu empat macam: qalb yang bersih, padanya pelita yang
bersinar gemilang, maka itulah qalb
al-mu’min. Qalb hitam terbalik,
maka itulah qalb orang kafir. Qalb terbungkus yang terikat
bungkusannya, itulah qalb orang
munafiq. Dan qalb yang melintang,
padanya keimanan dan kemunafikan, maka keimanan dalam qalb itu, adalah seperti sayur-sayuran, yang dipanjangkan oleh air
yang baik, dan kemunafikan dalam di dalam qalb,
adalah seperti luka yang dipanjangkan leh darah dan nanah. Maka yang manakah di
antara dua hal tadi yang banyak pada qalb,
maka begitulah jadinya qalb itu.
(Dalam riwayat lain: bejalanlah hal itu dengan qalb). (Al-Hadits)
“Taqwa itu di sini.” Lalu Nabi Saw menunjukkan kepada qalb. (Al-Hadits)
Lebih jauh lagi mengenai iman dapat dilihat dalam bentuk yang saling
berkait pada beberapa ayat Al-Qur`an serta Al-Hadits sebagai berikut
Orang-orang Arab itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu
belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah berserah diri (aslam)’ karena iman itu belum masuk ke
dalam qalbmu, dan jika kamu taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan menguarangi sedikitpun amalanmu;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujuraat [49]:
14)
Maka apakah orang-orang yang dilapangkan shudurnya untuk berserah diri (Al-Islam)
lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalbnya untuk mengingat Allah. Mereka
itu dalam kesesatan yang nyata. (QS Az-Zumar [39]: 22)
Pada hari ketika kamu melihat al-mu’min
dan al-mu’minat, sedang cahaya mereka
bersinar di hadapan (yaitu, cahaya iman)
dan di sebelah kanan mereka (yaitu,
cahaya ilmu) mereka, (dikatakan kepada mereka): “Pada hari ini ada berita
gembira untukmu (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu
kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang banyak. (QS Al-Hadiid [57]: 12)
Berkaitan dengan Q.S. Az-Zumar [39]: 22 Nabi Saw ditanya: “Apakah
pembukaan itu?” Nabi Saw menjawab: “Yaitu perluasan. Sesungguhnya cahaya itu,
apabila telah dicurahkan ke dalam qalb,
niscaya meluaslah dada dan terbuka.” (Al-Hadits)
Rasulullah Saw bersabda, “Apabila cahaya Allah telah memasuki qalb maka dadapun menjadi lapang dan
terbuka.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah yang demikian itu ada
tanda-tandanya ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Ya, orang-orang yang
mengalaminya lalu merenggangkan pandangannya dari negeri tipuan dan bersiap
menuju ke negeri abadi serta mempersiapkan diri untuk mati sebelum mati.”
(Al-Hadits)
Sahabat Anas bin Malik meriwayatakan bahwa pada suatu ketika Rasulullah
Saw sedang berjalan-jalan. Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama
Haritsah. Rasulullah Saw bertanya, “Bagaimana keadaanmu, ya, Haritsah?”
Haritsah menjawab, “Hamba sekarang benar-benar menjadi seorang mu’min billah.” Rasulullah Saw menjawab,
“Ya Haritsah, pikirkanlah dahulu apa yang engkau ucapkan itu, setiap ucapan itu
harus dibuktikan.” Haritsah menjawab, “Ya Rasulullah, hawa nafsu telah
menyingkir, kalau malam tiba hamba berjaga untuk beribadah kepada Allah SWT,
dan di waktu siang hamba berpuasa. Sekarang ini hamba dapat melihat ‘Arsy Allah
tampak dengan jelas di depan hamba. Hamba dapat melihat orang-orang di surga
saling kunjung mengunjungi. Hamba dapat melihat penghuni neraka
berteriak-teriak.” Maka Rasulullah Saw berkata, “Engkau menjadi orang yang
imannya dinyatakan dengan terang oleh Allah SWT di qalbmu.” (Al-Hadits)
[xxviii][28] Lihat QS Al-Ankabuut [29]: 9;
QS Al-Israa’ [17]: 9; QS Al-Kahfi [18]: 2; QS An-Nuur [24]: 62.
[xxix][29] Untuk mengetahui lebih jauh
ihwal rahmat pertama dan rahmat kedua bisa dilihat dalam Jurnal Suluk Ruh
Al-Quds, vol. 1, no.1, Agustus 2001, PICTS: Bandung.
[xxx][30] Hadits ini sebenarnya sangat
simbolik, untuk mengetahui lebih lanjut makna dari kata-kata beliau Saw di
atas, lihat kerangkanya dalam Jurnal Suluk Ruh Al-Quds, op.cit.
[xxxi][31] Lama Abu Odeh, (1997): Post-Colonial Feminism and the Veil:
Thinking the Difference, dalam Mary M. Gergen & Sara N. Davis (ed.), Toward a New Psychology of Gender: A Reader,
Routledge: New York, hal. 254-255.
[xxxii][32] Nasaruddin, (1996): op.cit., hal. 39.
[xxxiii][33] Yi-Fu Tuan, sebagaimana di
kutip oleh Victor Papanek, (1994): The
Coming of a New Aesthetic: Eco-Logic, Etho-Logic, Bio-Logic, dalam Jeremy
Myerson (ed.), Design Renaissance,
Open Eye Publishing: England, hal. 29.
[xxxiv][34] Dijk, Kees van, (1997): op.cit., hal. 75-77.
[xxxv][35] Beryl Causari Syamwil,
(Dzulqaidah 1414): Harapan kepada Peran
Buku-buku Tentang Wanita Islam di Indonesia, dalam Jurnal Salman Komunikasi
Aspirasi Ummat (SKAU), hal. 19.
[xxxvi][36] Akbar S. Ahmed, (1997): op.cit., hal. 212.
[xxxvii][37] Washburn, Karen E., (2001): Jilbab, Kesadaran :Post-Kolonial, dan Aksi
Tiga Perempuan (Jawa), dalam Monika Eviandaru, dkk., Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, Kanisius:
Yogyakarta, hal. 111.
[xxxviii][38] Akbar S. Ahmed, (1997): op.cit., hal. 233.
[xxxix][39] Lihat Washburn, (2001): op.cit., hal. 111-138.
[xl][40] Kebosanan adalah perilaku
yang dipacu oleh masyarakat industri atau kapitalis. Sistem nilai yang berlaku
di situ adalah nilai-nilai yang berpijak pada suatu kapital atau uang.
Masyarakat diajak berkelana dalam siklus kehidupan fashion, dan diajari untuk
selalu meraih sesuatu yang baru, serta diajari juga untuk cepat bosan terhadap
suatu mode. Sebuah siklus yang seolah selalu menawarkan kebaruan, suatu
progress, padahal sebenarnya mereka hanya berputar-putar saja. Selain itu
masyarakat pun seolah diberikan kebebasan untuk memilih yang sebenarnya adalah
pendiktean dari seperangkat gaya oleh produsen kepada konsumen.
[xli][41] Dijk, Kees van, (1997): op.cit., hal. 77-78.
[xlii][42] Dikutip dari catatan kuliah
Estetika III oleh Yustiono di FSRD-ITB tahun 1998.
[xliii][43] Pembahasan mengenai
makna-makna spiritual dari warna-warna dibahas lebih jauh secara mendalam pada Falsafah Jroning Warna, PICTS: Bandung.
[xliv][44] Baru-baru ini sempat mencuat
suatu peristiwa yang kontroversial dalam dunia fashion di Prancis di mana seorang desainer terkemuka menempelkan
potongan ayat Al-Qur’an yaitu surat Al-Baqarah yang ditempelkan di atas bagian
belahan dada yang terbuka pada baju rancangannya. Ketika ditanya, sang desainer
berkata bahwa dia tidak mengetahui bahwasanya huruf Arab tersebut adalah ayat
Al-Qur’an, karena dia menemukan sebuah potongan ayat tersebut—entah dari
mana—yang kemudian dinilainya sangat bagus apabila ditempelkan pada salah satu baju
rancangannya. Di sini bisa dilihat bahwa “estetika” bagi desainer jauh lebih
utama ketimbang maknanya.
[xlv][45] Lama Abu Odeh, (1997): op.cit., hal. 2547.
[xlvi][46] Godard, Jean-Luc, sebagaimana
dikutip dalam Papanek (1994), op.cit.
[xlvii][47] Lama Abu Odeh, (1997): op.cit., hal. 246-247.
[xlviii][48] Barthes, Roland, (1983): Myth Today, dalam Mythologies, diseleksi dan alih bahasa oleh Annete Lavers Paladin:
New York, hal. 115.
[xlix][49] Barthes, Roland, (1994): Elements of Semiology, alih bahasa oleh
Annete Lavers & Colin Smith, Hill and Wang: New York, hal. 91-92.
[l][50] Fiske, John, (1990): Introduction to Communication Studies,
edisi kedua, Routledge: London, hal. 171.
[li][51] Althusser, Louis, (1970): For Marx, alih bahasa oleh Ben Brewster,
Vintage: New York, hal. 223.
[lii][52] Penjelasan lebih jauh
mengenai masalah ini dibahas dalam Alfathri Adlin & Ahmad Shalahuddin
Zulfa, (2001): Spiritualitas, Makna
Hidup, (Pos)Modernitas: Tashawwuf dan Pencarian Manusia di antara al-Haqq dan Waham, naskah untuk Jurnal Suluk
Ruh Al-Quds.
[liii][53] Ibid., hal. 92.
[liv][54] Ibid., hal. 118.
[lv][55] Ibid., hal. 144.
[lvi][56] Hebdige, Dick, (1993): Subculture: The Meaning of Style,
Routledge: London, hal. 17-18.
[lvii][57] Baudrillard, (1981): op.cit., hal. 196.
[lviii][58] Lama Abu Odeh, (1997): op.cit., hal. 248-249.
[lix][59] Washburn mengambil pembagian
ini dari Dr. Gananath Obysekere yang mengkategorikannya menjadi tiga bagian,
dan dua kategori selain personal symbol
tersebut adalah, pertama, cultural symbol, suatu simbol yang
sangat dikenali dan diketahui oleh orang di satu kebudayaan. Kedua, psychogenetic symbol, suatu simbol yang mungkin mempunyai arti
personal untuk pelaku-pelaku di zaman dulu, tetapi yang sekarang sudah hilang
arti personalnya. Lihat Washburn (2001): op.cit.,
hal. 131-132.